Akan tetapi dalam pembuktian Hukum Pidana berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menggunakan lima alat bukti yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Jika dilihat dari sisi pasal tersebut, maka kesulitan utama dalam pengungkapan kasus pelecehan seksual adalah dengan menghadirkan sekurang-kurangnya dua orang saksi dalam proses perkara tersebut yang dimana, pada umumnya pelaku akan melakukan pelecehan seksual di lingkungan yang sepi bahkan tertutup.
Dan juga pada umumnya yang dapat dijadikan sebagai alat bukti adalah visum et reprertum yang terdapat dalam pasal 187 huruf c yaitu:
“Surat dari keterangan seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya”.
Akan tetapi, alat bukti seperti ini juga tidak bisa didapatkan oleh korban yang mengalami pelecehan seperti dirabanya kemaluan atau bagian lainnya, terkecuali korban yang mengalami kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Meskipun, kejahatan seksual yang dilakukan oleh pelaku tidak sampai bersetubuh, akan tetapi akibat yang ditimbulkan juga sangat berpengaruh besar terhadap psikis korban.
Hal inilah yang dapat membuat perlindungan hukum bagi korban pelecehan bisa melemah, jika korban ingin melaporkan akan tetapi bukti yang ada tidak cukup kuat dan akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri karena pelaku bisa saja melaporkan balik korban dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Akan tetapi, jika tidak dilaporkan hal yang kecil akan menjadi besar, yang awalnya disentuh bisa jadi akan diperkosa jika predator seperti itu dibiarkan. Dan akan banyak lagi korban-korban yang seharusnya menjadi penerus bangsa malah psikisnya terganggu dan merasa dirinya hancur.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait