Agamawan dapat: Menegaskan bahwa perusakan lingkungan adalah fasad fil ardh (kerusakan di muka bumi). Menyampaikan bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah sosial. Menghidupkan kembali konsep khalifah, mizan (keseimbangan), dan tanggung jawab antargenerasi.
Rumah ibadah dapat menjadi pusat: Edukasi ekologis berbasis nilai. Gerakan tanam pohon dan bersih lingkungan. Konsolidasi moral melawan praktik perusakan. Dengan demikian, agama tidak hanya menjadi ruang ritual, tetapi sumber etika ekologis publik.
5. Pantang-Larang / Panteng Lareng: Penjagaan Adat dan Mistis sebagai Instrumen Sosial-Ekologis
Pantang-larang bukan sekadar kepercayaan irasional, melainkan mekanisme sosial-kultural tradisional yang berfungsi mengatur relasi manusia dengan alam melalui: larangan sakral; sanksi sosial dan moral; dan ketakutan simbolik yang membentuk kepatuhan.
Dalam konteks Bangka Belitung, pantang-larang dapat dihidupkan kembali dan diadaptasi sebagai instrumen konservasi berbasis budaya, dengan prinsip: Dipimpin komunitas adat dan tokoh lokal. Tidak diskriminatif dan tidak melanggar HAM. Bersinergi dengan hukum formal dan ilmu pengetahuan.
Pantang-larang memberi makna simbolik dan spiritual pada pelestarian lingkungan, sehingga kepatuhan tidak hanya berbasis takut sanksi hukum, tetapi juga rasa bersalah, malu, dan tanggung jawab kosmologis. Dengan integrasi ini, konservasi tidak lagi terasa “asing” atau “dipaksakan”, melainkan berakar pada identitas lokal.
6. Masyarakat dan Komunitas Lokal: Dari Objek menjadi Subjek Pemulihan.
Masyarakat Bangka Belitung tidak boleh terus ditempatkan sebagai korban atau penonton. Pemulihan harus: Mengakui hak kelola masyarakat atas ruang hidupnya. Mendorong ekonomi alternatif non-tambang. Memperkuat kapasitas komunitas sebagai penjaga ekosistem.
Ketika masyarakat diberi peran, pengetahuan, dan manfaat nyata, mereka menjadi pelindung lingkungan paling efektif.
Editor : Haryanto
Artikel Terkait
