Berikut tujuh rumusan hasil diskusi Ngupi Bekisah:
1. Perubahan Paradigma: Dari Eksploitasi ke Etika Ekologis Kolektif.
Fondasi perbaikan lingkungan Bangka Belitung adalah perubahan paradigma: dari alam sebagai objek ekonomi menjadi alam sebagai ruang hidup, amanah moral, dan entitas yang memiliki nilai intrinsik.
Selama alam dipahami semata sebagai sumber komoditas (timah, pasir, ruang industri), kerusakan akan terus direproduksi. Karena itu, pemulihan ekologis harus berjalan beriringan dengan rekonstruksi etika sosial, yakni membangun kesadaran bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab kolektif lintas generasi.
2. Pemerintah: Arsitek Sistem, Bukan Aktor Tunggal.
Dalam pendekatan sistematis, pemerintah berperan sebagai perancang dan penjaga sistem, bukan pelaksana tunggal.
Langkah kunci meliputi:
Transparansi data AMDAL dan uang jaminan Reklamasi. Audit ekologis menyeluruh terhadap kerusakan alam, lubang tambang, pesisir, DAS, dan lainnya. Penegakan hukum lingkungan yang tegas dan konsisten. Moratorium selektif tambang di wilayah ekologis kritis.
3. Pendidikan: Membentuk Kesadaran Ekologis Sejak Dini.
Pendidikan adalah instrumen jangka panjang paling strategis. Di Bangka Belitung, pendidikan lingkungan seharusnya: Kontekstual, berbasis realitas lokal (tambang, pesisir, mangrove). Mengajarkan relasi sosial-lingkungan, bukan hanya sains alam. Menghubungkan pengetahuan dengan tanggung jawab moral.
Sekolah dan kampus perlu menjadi ruang pembacaan ulang relasi manusia-alam, melalui: Kurikulum lokal lingkungan Babel. Proyek berbasis komunitas (adopsi mangrove, pemetaan lubang tambang). Kolaborasi dengan masyarakat adat dan nelayan. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan, tetapi membentuk sikap ekologis.
4. Agamawan dan Institusi Keagamaan: Lingkungan sebagai Amanah Ilahiah
Dalam masyarakat Bangka Belitung yang religius, institusi agama memiliki otoritas moral yang sangat besar.
Editor : Haryanto
Artikel Terkait
