OPINI : Atha Said Fajri, Kabid PTKP HMI Babel Raya
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diperkuat dengan Perppu No. 2 Tahun 2022 dan disahkan melalui UU No. 6 Tahun 2023, berbagai kontroversi terus mencuat di tengah masyarakat. Banyak ketentuan dalam undang-undang ini yang dinilai merugikan pekerja serta melemahkan perlindungan tenaga kerja yang seharusnya menjadi hak dasar mereka.
Beberapa pasal krusial yang menunjukkan bagaimana UU ini lebih menguntungkan bagi perusahaan. Misalnya,Pasal 59 menghapus batas maksimal kontrak kerja, sementara Pasal 64 dan 66 memperluas praktik outsourcing tanpa pembatasan jenis pekerjaan. Pasal 79 dan 85 dinilai melemahkan hak cuti pekerja, sedangkan formula baru penghitungan upah minimum dalam Pasal 88C dan 88D dianggap mengabaikan aspek kebutuhan hidup yang layak. Tidak berhenti di situ, Pasal 151 dan 155A mempermudah proses pemutusan hubungan kerja (PHK) bahkan sebelum adanya putusan hukum tetap. Pasal 156 yang mengurangi hak pesangon, penerapan sistem upah satuan hasil, serta penghapusan sanksi pidana bagi pelanggaran ketenagakerjaan turut memperburuk posisi tawar pekerja di mata perusahaan.
*Dampak Nyata dari UU Cipta Kerja*
Salah satu bukti nyata dari dampak regulasi ini adalah kisah Dagri Rosa, seorang driver outsourcing berusia 55 tahun. Ia diberhentikan secara mendadak oleh PT. TDP, vendor dari PT. Timah, tepat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Dagri mengaku dihubungi melalui telepon sekitar pukul 21.00 malam setelah salat tarawih pertama dan diberitahu bahwa kontraknya tidak di perpanjang mulai keesokan harinya.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait