MASA anak-anak adalah periode yang rentan. Pada masa ini biasanya anak memiliki kepribadian yang belum stabil atau belum terbentuk secara utuh, atau dengan kata lain masih labil, dan mudah terpengaruh. Meningkatnya kasus kejahatan yang melibatkan anak usia dibawah umur sebagai pelaku kriminalitas hingga saat ini semakin menimbulkan kekhawatiran banyak pihak.
Terdapat sejumlah faktor yang mendorong anak melakukan berbagai aksi kejahatan. Diantaranya adalah, karena lingkungan yang buruk, didikan keluarga, dan juga perkembangan teknologi yang memungkinkan anak di bawah umur mengakses situs yang berkaitan dengan konten pornografi.
Penahanan anak di bawah umur yang terlibat dalam tindakan kriminal adalah isu yang kompleks dan memerlukan perhatian mendalam.
Sering kali, diskusi tentang keadilan cenderung fokus pada pelaku dan hukuman yang harus mereka terima, tanpa mempertimbangkan dampak psikologis yang lebih luas, baik bagi korban maupun masyarakat. Pendekatan holistik dan manusiawi sangat penting untuk memahami efek ini dan menciptakan solusi yang efektif.
Selain itu, Panduan hukum untuk menangani kasus ini tampaknya perlu dievaluasi. Selain itu, penanganan dan keterlibatan semua agen sosial perlu untuk terus dikembangkan.
Idealnya, meskipun hukuman yang diberikan kepada tindak kriminal berupa penahanan dengan durasi singkat serta rehabilitasi yang dianggap terlalu ringan bagi pelaku tindak kriminal yang dilakukan oleh anak dibawah umur, sering dianggap tidak adil jika dibandingkan dengan hal yang dialami korban, tetap saja proses peradilan membutuhkan peran hukum dalam menyelesaikan masalah termasuk tindak kriminal oleh anak usia di bawah umur.
Dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan proses hukum harus bertumpu pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setiap anak memerlukan pembinaan dan perlidungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Pembinaan dan perlindungan anak ini tak mengecualikan pelaku tindak pidana anak, kerap disebut sebagai “anak nakal”. Anak yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 (angka 1) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Perlakuan khusus terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dimaksudkan untuk melindung hak-hak anak tersebut.
Perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, dan tentunya harus melibatkan lembaga dan perangkat hukum yang lebih memadai.
Penahanan anak di bawah umur membawa implikasi psikologis yang signifikan, baik bagi anak itu sendiri maupun masyarakat secara keseluruhan.
Dari sisi korban, penahanan dapat menyebabkan trauma jangka panjang, seperti kecemasan, depresi, dan kesulitan dalam membangun hubungan sosial. Anak-anak yang mengalami penahanan sering kali merasa terasingkan dan kehilangan rasa percaya diri, yang dapat menghambat proses rehabilitasi mereka.
Di sisi masyarakat, penahanan anak berpotensi memperkuat stigma terhadap anak yang terlibat dalam sistem peradilan, mengakibatkan eksklusi sosial. Hal ini menciptakan siklus kekerasan dan kriminalitas yang sulit diputus, karena anak-anak yang terpenjara cenderung tidak mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk reintegrasi sosial.
Dengan demikian, penting untuk mengembangkan pendekatan rehabilitatif dan restorative yang berfokus pada pemulihan dan reintegrasi, bukan hanya berupa hukuman, agar dampak psikologis negatif ini dapat diminimalisir. Memahami implikasi psikologis dari penahanan anak di bawah umur juga salah satu langkah penting untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan manusiawi.
Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih rehabilitatif, kita dapat membantu menciptakan individu yang sehat secara mental dan berkontribusi positif bagi masyarakat. **)
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait