Cevty Arrnaz
Mahasiswa Pascasarjana Institut Pahlawan 12 Sungailiat
DALAM setiap pidato tentang reformasi birokrasi, kita sering mendengar kata-kata penuh semangat: penyederhanaan struktur, digitalisasi layanan, hingga transformasi budaya kerja. Namun, di balik berbagai jargon dan target itu, tersimpan satu pertanyaan yang jarang disinggung: apakah cara berpikir birokrat ikut berubah? Ataukah reformasi hanya berhenti pada wujud luar birokrasi tanpa menyentuh kesadaran yang menggerakkannya?
Reformasi birokrasi sejatinya bukan sekadar proyek penataan sistem dan prosedur, melainkan upaya menata pikiran manusia di baliknya. Tanpa perubahan paradigma berpikir, setiap kebijakan reformasi hanya akan menjadi formalitas administratif yang kehilangan ruh pelayanan publik. Di sinilah filsafat ilmu administrasi publik menjadi penting sebagai ruang refleksi untuk memahami kembali hakikat birokrasi, kekuasaan, dan tanggung jawab moral dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Selama dua dekade terakhir, reformasi birokrasi di Indonesia cenderung dijalankan secara teknokratis. Ada peta jalan, indikator kinerja, dan laporan capaian yang disusun dengan baik. Namun di lapangan, banyak perubahan yang hanya bersifat kosmetik. Struktur organisasi diubah, tetapi budaya kerja tidak beranjak. Teknologi informasi diperbarui, namun orientasi pelayanan publik tetap formalistik. Birokrasi tampak modern di luar, tetapi berpikir dengan pola lama di dalam.
Padahal, administrasi publik tidak semata-mata urusan teknis. Ia adalah praktik sosial dan etis. Di balik setiap regulasi dan prosedur, selalu ada nilai yang mendasarinya: keadilan, tanggung jawab, dan kemanusiaan. Ketika reformasi dijalankan tanpa kesadaran akan nilai-nilai itu, birokrasi kehilangan makna moralnya. Ia menjadi mesin administratif yang efisien di permukaan, namun hampa refleksi di dalam.
Salah satu akar persoalan birokrasi di negeri ini terletak pada paradigma kepatuhan. Banyak birokrat merasa tugasnya selesai ketika semua aturan dijalankan dan laporan disusun sesuai format. Padahal, administrasi publik tidak berhenti pada kepatuhan prosedural, tetapi menuntut pemahaman terhadap tujuan moral dan sosial dari setiap kebijakan. Filsafat mengingatkan bahwa perubahan sejati dimulai dari perubahan cara berpikir dari logika instruksi menuju logika refleksi. Birokrat perlu menanyakan kembali makna dari setiap tindakan administratifnya: apakah keputusan ini bermanfaat bagi publik? Apakah kebijakan ini adil dan manusiawi?
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait
