Fritjof Capra (1997) menuliskan dalam buku titik balik peradaban menyampaikan bahwa bumi sebagai ruang eksploitasi akan habis masanya. Setelah itu manusia akan seperti terlahir ketika semua hilang. Kekayaan alam tambang habis, kekayaan ekologis hancur dan kekayaan sosial tercabik.
Perebutan dalam eksploitasi kemudian melahirkan situasi kritis yang setiap saat dapat merengut jiwa siapa saja yang ada di dalam lingkunganya. Persahabatan, kekeluargaan dan rasa saling asih rusak karena perbedaan paham. Perbedaan paham dalam mengartikan sustainability atau keberlanjutan.
Pelaku eksploitasi memegang prinsip sustainability adalah mengoptimalkan eksploitasi. Sementara yang lain menyambut sustainability adalah mengatur keseimbangan recovery dan ekspliotasi (eco-centris). Ketika tidak ada yang menjadi wasit, maka tragedi sudah diambang mata.
Fakta seperti di atas tampaknya yang tengah dihadapi masyarakat di bumi Biliton. Ketika berpisah dari Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka-Belitung terinspirasi menjadi pulau maju dengan sumberdaya alamnya. Namun fakta yang tengah dihadapi mulai ambruknya kejayaan Industri Timah, serta industri perkebunan lada. Dua komoditas ini menjadi andalan Bangka dan Belitung sejak zaman penjajahan sampai kemerdekaan. Namun seperti kehilangan pegangan sejak menjadi otonomi dari Sumatera Selatan, modus industri berubah menjadi pertambangan rakyat. Seperti berlomba untuk maju, kaya, berpenghasilan, sehingga aktivitas pertambangan rakyat menjamur tanpa kendali.
Fakta hancurnya lahan lahan pertanian lada menjadi jamak ditemukan dan berubah menjadi lubang galian baru. Tidak jarang juga kemudian bekas galian lama kembali didaur ulang masyarakat. Masyarakat dihadapkan pada keadaan seolah tidak ada pilihan sumber ekonomi yang mampu menjamin kelangsungan hidup mereka.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait