Bisnis Penuh Muslihat
Korupsi tata niaga pertambangan timah yang melibatkan 22 orang terdakwa yakni Eks Dirjen Minerba, PT Timah, Eks Kepala Dinas, Smelter serta pengusaha lainnya menambah catatan buruk tata kelola pemerintahan dan tata kelola sumberdaya alam di Indonesia, khususnya di Kepulauan Bangka Belitung.
“Putusan hakim telah membuktikan para terdakwa bahu membahu melakukan bisnis kotor di dalam industri pertimahan. Tidak hanya merugikan negara, tapi juga menyebabkan massifnya kerusakan lingkungan yang berimplikasi pada bencana ekologis di Kepulauan Bangka Belitung,” kata Hafiz.
Meski demikian, Walhi Kepulauan Bangka Belitung menilai putusan hakim PN Jakpus terhadap terdakwa korupsi yang telah merugikan negara Rp300 Triliun terlalu rendah. Jika mengacu pada Perma 1/2020, nomenklatur hukum negara justru telah mengkategorisasi mengenai hukuman seperti apa yang patut diterima oleh terdakwa kasus korupsi. Sehingga putusan hakim yang lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kasus korupsi dinilai tidak adil.
Putusan tersebut telah menjelaskan bahwa semua terdakwa terlibat dan memiliki peran masing-masing merugikan keuangan negara, maupun sebagai pihak yang berkontribusi besar dalam menciptakan bencana ekologis di Kepulauan Bangka Belitung.
“Publik mempertanyakan, apa sebenarnya yang menjadi landasan pertimbangan hakim sehingga putusannya demikian? padahal secara materiil negara jelas dirugikan. Baik sumberdaya alamnya seperti Timah, maupun beban pemulihan Lingkungan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial. Dalam hal ini Walhi Kepulauan Bangka Belitung menilai bahwa kerugian negara akibat rusaknya ekosistem esensial bukan lagi potensial loss, melainkan actual loss karena kerusakannya telah meluas dan pemulihannya dibebankan kepada negara,” ucap Hafiz.
Editor : Muri Setiawan