Bangka Belitung Darurat Pelecehan Seksual, Kita Bisa Apa?

Opini :Fikri Setiawan, Kabid Organisasi Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bangka Belitung
Bangka Belitung, provinsi yang selama ini dikenal dengan keindahan alamnya dan keragaman budayanya, tengah menghadapi persoalan yang sangat serius dan mengancam masa depan generasi muda. Kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak dan perempuan semakin hari semakin meningkat dan menjadi krisis yang tidak bisa lagi dianggap sepele atau ditutup-tutupi. Darurat pelecehan seksual ini merupakan sinyal kegagalan sistemik dalam melindungi warga negara, khususnya kelompok rentan yang mestinya mendapat perhatian lebih.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Bangka Belitung meningkat drastis hingga 25 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, pada kuartal pertama tahun 2025, sudah tercatat lebih dari 30 kasus pelecehan seksual yang dilaporkan di wilayah ini. Angka-angka tersebut bukan sekadar data statistik yang kering, melainkan cermin dari penderitaan nyata yang dialami oleh anak-anak dan perempuan Bangka Belitung, yang seharusnya mendapat perlindungan, tetapi malah menjadi korban kekerasan yang brutal.
Persoalan ini bukan sekadar persoalan individual semata, melainkan sebuah masalah sosial dan struktural yang harus menjadi perhatian seluruh elemen masyarakat. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, dan masyarakat umum harus bersama-sama bertanggung jawab untuk merespons krisis ini secara nyata dan sistemik.
Salah satu hal yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana lembaga pendidikan agama, yang seharusnya menjadi benteng moral dan pelindung generasi muda, justru menjadi arena rawan terjadinya kekerasan seksual. Kasus pimpinan pondok pesantren di Bangka Selatan yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap santrinya sendiri membuka tabir betapa lemahnya pengawasan internal dan betapa kuatnya budaya tutup mulut yang selama ini menjerat korban dan melindungi pelaku.
Budaya diam dan stigma sosial yang melekat pada korban pelecehan seksual selama ini menjadi musuh terbesar dalam upaya melindungi korban dan menjerat pelaku. Korban yang seharusnya mendapatkan simpati dan perlindungan, malah seringkali menjadi pihak yang disalahkan, dihakimi, bahkan diancam oleh lingkungan sekitar. Ini merupakan bentuk kekerasan kedua yang dialami korban, setelah pelecehan seksual itu sendiri. Kekerasan struktural dan sosial inilah yang memperparah trauma dan membuat korban sulit untuk bangkit dan mendapatkan keadilan.
Dalam konteks hukum, Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah regulasi yang mengatur perlindungan terhadap anak dan perempuan dari kekerasan seksual, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun, regulasi yang sudah cukup kuat tersebut kerap kali tidak diikuti dengan implementasi yang serius dan konsisten. Penegakan hukum yang lamban dan tidak tegas memperkuat impunitas pelaku, sehingga banyak kasus berlarut-larut tanpa keadilan yang jelas.
UU Perlindungan Anak mengatur hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Sementara itu, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan payung hukum yang lebih spesifik dengan mengatur berbagai jenis kekerasan seksual, mekanisme penanganan kasus, dan sanksi pidana yang lebih tegas terhadap pelaku. Namun, masih sering terjadi kesenjangan antara aturan di atas kertas dengan realita di lapangan.
Pendidikan seksual yang komprehensif juga merupakan salah satu kunci utama dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Pendidikan ini bukan hanya soal pengetahuan anatomi tubuh, tetapi juga pemahaman mendalam tentang hak atas tubuh sendiri, konsep persetujuan, dan batasan-batasan yang harus dihormati dalam interaksi sosial. Pendidikan semacam ini harus mulai diterapkan sejak dini dan menjadi bagian dari kurikulum formal di sekolah dan lembaga pendidikan agama. Tanpa pemahaman dan kesadaran yang cukup, generasi muda akan tetap rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual.
Sebagai generasi muda dan bagian dari organisasi pelajar saya menegaskan bahwa kita tidak boleh membiarkan budaya diam dan stigma yang selama ini melindungi pelaku terus berlangsung. Kita harus menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi korban untuk berani bersuara dan mencari keadilan. Peran masyarakat sangat penting dalam membangun solidaritas dan empati, serta menolak segala bentuk kekerasan seksual.
Darurat pelecehan seksual di Bangka Belitung adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah daerah harus segera meningkatkan pengawasan dan menguatkan sistem perlindungan anak dan perempuan, termasuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap lembaga pendidikan agama dan formal. Aparat hukum harus bersikap tegas dan transparan dalam penanganan kasus, tanpa pandang bulu. Dan masyarakat harus berani mengubah kultur diam menjadi kultur peduli dan aksi nyata.
Krisis ini juga menuntut perhatian dari seluruh pihak untuk menyediakan layanan pendampingan psikologis dan hukum yang memadai bagi korban dan keluarganya. Pemulihan trauma dan pemberdayaan korban adalah bagian integral dari proses keadilan yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Jika kita gagal bertindak sekarang, maka kita tidak hanya mengkhianati kepercayaan anak-anak dan perempuan Bangka Belitung, tetapi juga mengorbankan masa depan mereka. Bangka Belitung seharusnya menjadi tempat yang aman dan penuh harapan, bukan wilayah yang menyimpan luka dan ketakutan yang terus berulang.
Mari kita bersatu melawan pelecehan seksual. Mari kita bangun kesadaran kolektif dan melakukan aksi nyata untuk melindungi generasi muda. Kita harus menolak segala bentuk kekerasan dan menjadikan perlindungan anak dan perempuan sebagai prioritas utama.
Saya mengajak seluruh elemen masyarakat, dari pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, hingga komunitas masyarakat sipil, untuk berkolaborasi secara serius dan berkelanjutan dalam menangani krisis ini. Kita harus memastikan tidak ada korban yang merasa terabaikan dan tidak mendapatkan keadilan.
Bangka Belitung membutuhkan langkah tegas dan nyata, bukan retorika kosong atau janji yang berulang. Ini adalah panggilan kemanusiaan yang mendesak. Kita semua punya peran untuk mengakhiri krisis pelecehan seksual ini.
Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?
Editor : Agus Wahyu Suprihartanto