Lintasbabel.iNews.id - Sejak lama, hak informasi dipandang sebagai suatu hak fundamental setiap manusia. Hak ini bukan hanya sekedar akses terhadap data, tetapi jaminan agar setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 19 Universal Declaration of Human Right (UDHR) tahun 1948, setiap orang memiliki hak mencari informasi (The right to seek), hak untuk menerima informasi (The right to receive), hak untuk menyebarkan informasi (The right to impart), dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas.
Dalam hal ini keterbukaan informasi bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan bentuk pengakuan terhadap martabat manusia sebagai subjek yang berhak mengetahui, menilai, dan mengawasi jalannya kekuasaan.
Fondasi hukum Indonesia menunjukkan komitmen yang progresif dalam menjamin keterbukaan informasi publik sebagai pemenuhan hak mendasar warga negara. Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. Lebih lanjut, komitmen terhadap keterbukaan informasi publik diterjemahkan kembali melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang menyatakan bahwa setiap badan publik wajib menyediakan dan melayani informasi keterbukaan informasi yang terbuka bagi masyarakat.
Dalam konteks lokal, di atas kertas pemerintah daerah Bangka Belitung telah berkomitmen dalam mewujudkan Bangka Belitung yang informatif, melalui strategi dan inovasi guna pemerataan hak akses informasi publik yang ada. Hal ini dibuktikan melalui akhirnya produk hukum berupa Perda No. 6 Tahun 2019 tentang keterbukaan informasi publik, inovasi digital yang dilakukan, bahkan Bangka Belitung meraih predikat informatif dengan indeks keterbukaan informasi publik mencapai 79,36 poin. Namun, di balik komitmen regulasi dan capaian indeks keterbukaan, realitas di lapangan mengungkapkan bahwa masyarakat masih menghadapi tantangan yang signifikan. Sepanjang tahun 2025, terdapat empat perkara sengketa informasi publik yang diajukan masyarakat ke komisi informasi Babel. Angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi merepresentasikan frustrasi warga yang harus berjuang keras demi fundamentalnya. Salah satu titik krusial yang memperlihatkan.
Ketika PPID Menjadi Penghalang, Bukan Fasilitator
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), yang seharusnya menjadi ujung tombak keterbukaan informasi, justru menjadi penghalang. PPID seringkali tidak responsif dalam menjawab permohonan informasi dengan memberi jawaban saat batas waktu, bahkan menolak permohonan dengan alasan yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Dokumen strategsis seperti Naskah akademik kebijakan atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang seharusnya mudah diakses karena menyangkut kepentingan publik justru sulit untuk didapatkan dengan dalih bukan “termasuk dokumen publik” atau “belum bisa dipubliskan”.
Padahal, berdasarkan Keputusna Mahkama Konstitusi Nomor 77/PPU-XXIV/2016, badan publik yang menolak memberikan informasi tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana. Semakin ironis ketika instansi tidak menyediakan loket khusus PPID, tidak menyiapkan SOP yang jelas dan tidak menyediakan daftar informasi publik yang wajib tersedia.
Jalur Hukum yang Memberatkan Rakyat
Persoalan yang lebih tampak adalah, hanya untuk sekedar menuntut hak atas informasi, warga negara harus menapaki jalan yang panjang: permohonan → keberatan → sengketa ke KI → banding ke PTUN → kasasi ke MA. Proses ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar memberatkan masyarakat dalam memperoleh informasi.
Dalam perspektif HAM, kondisi ini jelas bermasalah. Hak yang seharusnya didapatkan dengan mudah, tak bergantung dengan biaya dan prosedur birokrasi tidak terpenuhi. Ini menjadi indikator negara gagal dalam menjalankan kewajibannya.
Akar Masalah: Kultur, dan Struktural
Hambatan keterbukaan informasi bukan hanya persoalan teknis. Pemohon informasi harus berhadapan dengan aparatur yang tidak siap, tidak terlatih, dan seringkali tidak memiliki political will untuk memberikan pelayanan yang transparan dan akuntabel. Ketika PPID tidak berfungsi sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang, maka seluruh sistem keterbukaan informasi menjadi terganggu, karena pemohon informasi harus berhadapan dengan aparatur yang tidak siap memberikan pelayanan informasi yang transparan, efektif, dan akuntabel.
Dampak Terhadap Demokrasi dan HAM
Defisit keterbukaan informasi publik menciptakan dampak berantai yang serius terutama untuk demokrasi dan penegakkan HAM. Ketika ketika informasi yang harusnya terbuka tidak bisa diakses, hal ini mencederai martabat warga negara sebagai subjek yang berhak mengetahui, mengawasi dan menentukan arah hidupnya.
Jalan Keluar: Lima Langkah Strategi
Untuk menyelesaikan masalah ini perlu pendekatan yang komferhensif. Diantaranya: pertama, peningkatan kapasitas PPID dengan pelatihan intensif tentang filosofis keterbukaan informasi sebagai bagian dari HAM bukan hanya teknis. Kedua, digitalisasi informasi untuk memudahkan publik mengakses informasi. Ketiga, proaktif dalam mengawasi dan mengevaluasi serta mempublikasikan hasil secara berkala. keempat, perlu mendorong partisipasi publik melalui forum konsultasi,sosialisasi dan kampanye edukasi. Dan kelima, menegakkan hukum lebih tegas ketika lembaga tidak menyediakan informasi publik.
Penutup: keterbukaan informasi sebagai bagian dari HAM
Pada akhirnya keterbukaan informasi bukan hanya sekedar syarat administratif, bukan pula kebaikan hati pemerintah daerah. Ia merupakan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh konstitusi dan diakui oleh dunia internasional. Ketika pemerintah menutup akses informasi, yang dilanggar bukan cuma hukum, melainkan hak fundamental bagi setiap warga negara. Sehingga sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, ia bukan hal yang bisa dinegosiasikan atau ditunda.
Editor : Haryanto
Artikel Terkait
