BANGKA TENGAH, Lintasbabel.iNews.id - Dalam proyek-proyek besar, tak jarang muncul narasi “Dilema antara upaya mencapai kesejahteraan kolektif atau keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan”. Seakan-akan kedua hal ini bertentangan, dan kita dipaksa untuk memilih, padahal keduanya sama sama penting untuk dipenuhi.
Inilah yang kami rasakan Ketika membaca lebih mendalam mengenai isu rencana pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) Gelasa, Bangka Belitung. Disatu sisi ada narasi besar tetang Pembangunan dan kesejahteraan: Indonesia butuh Listrik dengan harga terjangkau dan bersih untuk mencapai Indonesia Emas 2045, untuk memenuhi tuntutan dekarbonisasi global, untuk kesejahteraan 280 juta rakyat. Disisi lain ada mayarakat Batu Beriga yang berteriak “Ini pulau dan laut kami, ketika diambil bagaimana kami hidup?”.
Narasi kesejahteraan yang menyesatkan
Dalam kerangka narasi yang dilemparkan ke kita, PLTN Gelasa dipandang sebagai keniscayaan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat banyak. Listrik terjangkau, zero emission, masa depan cerah. Namun ketika pemerintah menggaungkan tentang kesejahteraan rakyat,yang mereka maksud adalah angka agregat: 280 juta penduduk Indonesia membutuhkan listrik, jutaan rumah tangga membutuhkan listrik murah, serta ribuan industri menuntut pasokan listrik yang stabil. Dalam kalkulasi besar ini masyarakat Batu Beriga menjadi titik kecil yang hampir tak terlihat, margin eror yang dipandang tidak penting.
Fenomena ini mencerminkan tirani mayoritas yang berkedok “Kepetingan nasional” Logika yang digunakan sederhana sekaligus kejam dimana demi kesejahteraan jutaaan orang,segelintir orang boleh dikorbankan. Demi listrik murah di pusat kota, nelayan batu beriga kehilangan akses terhadap ruang hidupnya.
Kamimenolak logika ini, bukan berarti saya tidak peduli terhadap kesejahteraan jutaan rakyat Indonesia lainnya. Bukan juga karena saya tidak yakin Indonesia dapat menjalani transisi energi, namun menurut saya, setiap pembangunan harus mencakup aspek keadilan.
Keadilan Bukan Hanya Soal Angka
Kami memahami argumen yang mungkin muncul: "Namun demi kesejahteraan jutaan orang, beberapa ratus orang harus mengorbankan diri. Ini adalah perhitungan utilitarian yang rasional. "
Namun, bagi kami keadilan bukanlah tentang menghitung jumlah siapa yang lebih banyak atau lebih sedikit. Keadilan adalah mengenai pengakuan bahwa setiap individu, terlepas dari jumlahnya, memiliki hak yang tidak seharusnya dilanggar hanya karena ada kepentingan yang lebih besar. Filsuf John Rawls dalam A Theory of Justice mengajukan prinsip yang sederhana namun powerful: ketimpangan hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan kelompok yang paling tidak beruntung. Pertanyaannya kemudian: apakah pembangunan PLTN Gelasa menguntungkan nelayan Batu Beriga? Jawabannya tegas: tidak. Lebih jau lagi, dalam filosofi hak asasi manusia, ini dikenal sebagai prinsip non-fungibility: manusia bukanlah barang yang bisa ditukarkan atau dikorbankan demi tujuan lain, betapa pun mulianya tujuan tersebut.
Mari kita lihat dalam perspektif korban
Masyarakat Batu Beriga, 70% dari mereka adalah nelayan bergantung pada laut di sekitar Pulau Gelasa untuk kehidupan mereka. Pulau ini tidak hanya menjadi tempat mereka mencari ikan, tetapi juga berfungsi sebagai tempat berlindung saat cuaca buruk, menjadi bagian dari ritme hidup mereka selama beberapa generasi.
Dengan pembangunan PLTN, akses menuju laut akan terbatasi meskipun mungkin tidak sepenuhnya, namun cukup untuk mengganggu kehidupan mereka. Mereka akan kehilangan area penangkapan ikan, merasakan berkurangnya rasa aman, dan terputus dari hubungan budaya dengan laut yang membentuk identitas mereka
Yang paling mencemaskan adalah adnya ketimpangan resiko, dimana masyarakat akan akan menanggung beban yang besar. Mulai dari kehilangan mata pencaharian, potensi bencana nuklir, dan kerusakan ekositem, sementara manfaat berupa listrik murah julstru lebih dinimati oleh pihak yang jauh dari lokasi. Batu beriga beresiko menjadi Sacrifice zone, yakni wilayah yang dikorbankan demi kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Kesimpulan: menolak dikotomi palsu
Saya ingin mengajak Anda untuk menolak pemisahan yang tidak benar antara kesejahteraan dan keadilan. Dalam etika pembangunan yang tidak meninggalkan siapapun, tidak berarti mengorbankan sebagian kecil untuk kepentingan mayoritas.
Keadilan untuk Batu Beriga bukanlah penghalang bagi kesejahteraan negara, melainkan prasyarat bagi pembangunan yang berkelanjutan dan bermartabat. Indonesia tidak perlu memilih antara energi bersih dan keadilan sosial; kita bisa dan harus memperjuangkan keduanya. Apakah kita sebagai bangsa ingin membangun Indonesia Emas 2045 dengan mengorbankan komunitas kecil? Atau kita ingin menciptakan masa depan yang benar-benar inklusif, di mana setiap warga negara, termasuk nelayan Batu Beriga, memiliki martabat dan hak yang setara untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Penulis naskah : Muhammad Adhitya, Sherliyani, Dani Efendi dan Sanda Pratama.
Editor : Haryanto
Artikel Terkait
