PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Hardiknas kembali hadir dengan seremonial, slogan, dan pujian terhadap kurikulum baru yang dianggap lebih adaptif dan kontekstual. Namun di balik gegap gempita tersebut, terdapat ironi yang terus berulang: Guru tetap berada di barisan paling belakang dalam percakapan tentang perubahan pendidikan. Mereka yang seharusnya menjadi jantung transformasi pendidikan justru terpinggirkan, seakan hanya pelaksana teknis dari proyek besar bernama “Reformasi Kurikulum”.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan jelas menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional yang berfungsi mengembangkan potensi peserta didik. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa guru berhak memperoleh perlindungan hukum, profesi, dan administratif, serta keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Sementara itu, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, mengharuskan seorang guru memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Namun, fakta lapangan menunjukkan bahwa hak-hak itu masih jauh dari terpenuhi.
Kasus yang relevan dapat dilihat pada implementasi Kurikulum Merdeka.
Di banyak daerah, guru dituntut mengubah pendekatan pembelajaran, menyusun modul ajar, hingga melakukan asesmen diagnostik. Namun, pelatihan yang diberikan minim, bimbingan teknis terbatas, dan tidak semua guru memiliki akses internet yang memadai untuk mengakses platform seperti Merdeka Mengajar. Contoh nyata saat, di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, banyak guru Sekolah Dasar yang mengeluhkan belum memahami filosofi kurikulum, namun sudah diminta mengimplementasikannya secara penuh. Akibatnya, pembelajaran menjadi setengah matang dan guru merasa frustasi dengan tuntutan administratif yang menumpuk.
Kondisi ini diperburuk oleh realitas bahwa lebih dari 40% guru di Indonesia berstatus non-ASN, banyak di antaranya dibayar di bawah UMK, tanpa jaminan kesejahteraan. Mereka menjadi tulang punggung pendidikan, namun diperlakukan seperti pekerja temporer. Saat kurikulum dipoles sedemikian rupa di pusat, para guru honorer ini justru berjuang di lapangan tanpa perlindungan yang layak. Bagaimana mungkin pendidikan dapat merdeka jika guru sendiri belum merdeka secara struktural?
Meski demikian, Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak menjadi ajang keluh kesah semata. Ini adalah momentum penting untuk mengembalikan arah perubahan: dari kurikulum-sentris menjadi guru-sentris. Kita butuh kebijakan pendidikan yang menempatkan guru sebagai subjek, bukan sekadar alat pelaksana. Perlu dibangun ekosistem pelatihan yang berkelanjutan, insentif profesional yang layak, serta ruang dialog terbuka antara guru dan perancang kebijakan.
Kurikulum bisa berganti, teknologi bisa berkembang, tapi tanpa guru yang berdaya, semua itu hanyalah ilusi kemajuan. Sudah saatnya negara benar-benar memuliakan profesi guru—bukan lewat puisi dan spanduk, tetapi melalui kebijakan konkret dan keberpihakan nyata.
Karena pendidikan sejati bukan dimulai dari dokumen, tapi dari sosok guru yang dihargai dan diberi ruang untuk mendidik dengan hati.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait