Efeknya, bandara H.AS Hanandjoeddin Tanjungpandan naik kelas sebagai bandara internasional pada 2017 untuk menunjang promosi pariwisata Indonesia. Masa itu, selain melayani penerbangan domestik ke-dari Pangkalpinang, Jakarta, Bandar Lampung, dan Palembang, H.AS Hanandjoeddin melayani penerbangan mancanegara ke-dari Kuala Lumpur, dan Singapura. Wisata Belitung ramai, ekonomi menggeliat.
Sayangnya….
Dua tahun kemudian Covid-19 menghantam dunia, wisata Belitung jalan di tempat, bahkan sekadar untuk kembali pun sulit. Status mewah yang disandang Bandara H.AS Hanandjoeddin tidak lagi ada, setelah Pemerintah mengeluarkan kebijakan melakukan pemangkasan status bandara internasional di Indonesia pada 2024, termasuk bandara kebanggaan masyarakat Pulau Belitung itu.
Bandara yang dulu melayani penerbangan mancanegara, kini bertatus domestik, dan hanya menerima penerbangan dalam negeri, yaitu dari Pangkalpinang yang notabene masih dalam provinsi yang sama, dan juga Jakarta. Revitalisasi pembangunannya pun tidak nampak. Total runway di bandara itu ‘stag’ pada 2.710 meter saja.
Bahkan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI, frekuensi penerbangan komersil di bandara tersebut dalam perminggunya hanya 31 penerbangan, dan tidak memiliki apron untuk pesawat parkir.
Masih di provinsi yang sama, Pangkalpinang. Bandaranya, Depati Amir sedikit ‘bernasib’ lebih baik. Sebagai pulau yang diisi oleh 4 kabupaten/1 kota, Pulau Bangka memang menjadi pusat industri dan perdagangan, serta pusat pemerintahan yang menghubungkan komunikasi daerah dan pusat melalui Ibu Kota Pangkalpinang. Bandara ini cukup lebih besar dari saudaranya, dengan adanya 2 terminal aktif, walaupun hanya dapat menampung 4 pesawat dalam satu waktu.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait