PANGKALPINANG, lintasbabel.id - Warga etnis Tionghoa yang beragama Konghucu di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), merayakan Tahun Baru Imlek 2573 Kongzili yang jatuh tepat tanggal 1 Februari 2022. Mereka merayakan Imlek dengan penuh suka cita dan kebahagiaan.
Perayaan Imlek dimulai di hari pertama pada penanggalan Tionghoa, yang berakhir dengan Cap Go Meh di hari ke-15. Masyarakat etnis Tionghoa percaya, Imlek merupakan awal penentuan nasib dan keberuntungan selama satu tahun ke depan.
Berbagai tradisi, mulai dari keberuntungan hingga larangan dan pantangan bagi kepercayaan akan mereka jalankan.
Mengutip dari jurnal berjudul ‘Imlek, Identitas dan Multikulturalisme di Yogyakarta’ karya Sudono, Suhartono dan GR. Lono Lastoro Simatupang, perayaan Imlek di Indonesia pernah dilarang ketika pemerintahan Orde Baru (1966-1998).
Etnis Tionghoa mendapatkan tekanan diskriminasi hingga tidak dapat melakukkan ritual dan tradisi-tradisi budaya mereka.
Presiden ke-2 RI, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
Tradisi bagi-bagi Angpao saat perayaan Tahun Baru Imlek. (Foto: lintasbabel.id/ Haryanto)
Akibatnya, beberapa tradisi keagamaan etnis Tionghoa di Indonesia tidak dapat dijalankan karena batasan itu.
Perayaan Tahun Baru Imlek, perayaan Peh Cun (Festival Perahu Naga), perayaan Tong Chiu Pia (Perayaan Kue Bulan) dan Cap Go Meh dilarang dirayakan secara terbuka. Termasuk juga tarian barongsai dan liong.
Hal itu, juga dirasakan di Kota Pangkalpinang. Warga Tionghoa harus melakukan ibadah Imlek dengan diam-diam.
"Kalau dulu di masa Orde Baru itu, kami merayakan Imlek ini diam-diam, sembahyang itu tidak terbuka," kata salah satu tokoh Tionghoa di Pangkalpinang, Acut Effendi, Selasa (1/2/2022).
Namun, kini etnis Tionghoa di Indonesia dapat bernapas lega setelah Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut Inpres tersebut. Pemerintah memberikan kesempatan lebar ke etnis Tionghoa untuk menyamakan kedudukan mereka dengan masyarakat lain tanpa diskiriminasi.
"Jadi semenjak Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid membuka keran itu, membuat kami lebih leluasa untuk menyarakan Imlek dengan penuh kegembiraan," ujarnya.
Kebijakan tersebut menimbulkan pro kontra di kalangan etnis Tionghoa, khususnya penganut Konghucu, Imlek dianggap hari raya keagamaan dan Imlek berkaitan dengan lahirnya Konfusius.
Namun, bagi sebagian masyarakat Tionghoa lainnya, Imlek tidak lebih dari tradisi budaya, khususnya etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam, Kristen dan Katolik.
Mulai tahun 2003, Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri memutuskan bahwa Imlek dijadikan hari libur nasional.
Hal ini diumumkan Megawati saat menghadiri perayaan Imlek 2553 pada Februari 2002. Sejak saat itu, klenteng-klenteng atau vihara-vihara mulai ramai dikunjungi oleh etnis Tionghoa untuk melakukan sembahyang dan mengadakan ritual keagamaan dan ritual adat.
"Setelah Presiden Ibu Megawati ditetapkan lah Imlek sebagai libur nasional. Kami umat Tionghoa sangat senang hingga saat ini tidak ada diskriminasi dan tidak ada perbedaan lagi. Kalau dulu orang bertanya-tanya kepada kapan kami Imlek, nah sekarang sudah tahu se Indonesia karena sudah ada di kelender," ucapnya.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait