WALHI: Pertambangan Timah, dari Kematian Hingga Krisis Iklim

Muri setiawan
Proses evakuasi korban tewas laka tambang timah di laut Matras Sungailiat Bangka. Foto: istimewa

PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Pertambangan pasir timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) terus merenggut korban jiwa. Catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kepulauan Babel, dari tahun 2019-2023, tercatat ada 81 jiwa korban kecelakaan tambang. Jumlah ini belum termasuk korban jiwa dari tahun-tahun sebelumnya. Diperkirakan ratusan korban jiwa dari aktifitas industri pertimahan di Kepulauan Bangka Belitung, pasca Reformasi 1998.


Lokasi kecelakaan tambang milik PT Timah di Desa Rindik, Toboali Kabupaten Bangka Selatan yang terjadi beberapa waktu lalu. Foto: Istimewa.
 

Tidak hanya penambang yang menjadi korban, dari kurun waktu yang sama (2019-2023), sekitar 13 anak meninggal dunia dikarenakan tenggelam di kulong atau lubang eks penambangan timah.

"Dari tingginya kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa dalam aktifitas pertambangan timah, membuktikan jika masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung tidak memiliki pengetahuan dalam menambang timah. Sebab pengetahuan penambangan timah yang dibawa para pekerja tambang China di masa pemerintahan Hindia Belanda, tidak berlanjut di masa pemerintahan Indonesia," kata Direktur Walhi Kepulauan Babel, Jessix Amundian dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/9/2023).

Dikatakannya, selama dua generasi, masyarakat dilarang melakukan penambangan timah, sehingga tidak tumbuh tradisi bersama teknologi dan pengetahuan keselamatan kerja dalam menambang timah di masyarakat (rakyat).

"Berdasarkan monitoring Walhi Kepulauan Babel, aktifitas pertambangan timah di kepulauan yang berusia jutaan tahun, menyebabkan kerusakan wilayah hutan, lahan basah (sungai, rawa dan mangrove), serta laut, beserta ekosistemnya," tuturnya.

Sekitar 1,007 juta hektare dari 8,1 juta hektare luasan Kepulauan Bangka Belitung merupakan Izin Usaha Pertambangan. Aktifitas pertambangan timah menghadirkan 12.607 kulong (lubang eks tambang) dengan total luasan 15.579,747 hektare.

Kata Jessix, sekitar 5.270,31 hektar karang mati; sekitar 240.467,98 hektar mangrove mengalami kerusakan; serta, lahan kritis seluas 167.104 hektar.


Salah satu lokasi lahan kritis di kawasan Tahura Menumbing Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang rusak dihantam penambangan timah ilegal. Foto: Lintasbabel.iNews.id/ Rizki Ramadhani.
 

Dampak dari kerusakan tersebut, selain hilang dan terancamnya keberagaman flora dan fauna, seperti Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus), Kukang (Nycticebus bancanus), Binturong (Arctictis binturong), serta pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff), pohon Nyatoh (Palaquium rostratum), pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn), juga menimbulkan krisis air bersih; hilang dan menurunnya populasi sejumlah jenis ikan sebagai sumber pangan dan ekonomi berkelanjutan; serta, hilangnya berbagai tradisi bersama pengetahuan lokal yang arif dengan alam.

"Dari dampak tersebut, Walhi Kepulauan Babel menilai aktifitas pertambangan pasir timah di Kepulauan Bangka Belitung sudah mengubah bentang alam, yang sebelumnya adalah “surga” bagi semua makhluk hidup," ujarnya.

Pemanasan (krisis iklim) global yang dampaknya sudah dirasakan pada saat ini, seperti menyebarnya virus mematikan, naiknya suhu bumi, kekeringan, dan banjir, kian mengancam Kepulauan Bangka Belitung. Pemanasan global memungkinkan dalam waktu dekat, provinsi dengan 950 pulau, mengalami krisis pangan dan krisis air bersih.

Puncak krisis iklim global diprediksi berlangsung pada 2040 atau sekitar 18 tahun lagi. Minimal sekitar 860.330 jiwa masyarakat di Kepulauan Bangka kelahiran 1989-2022 akan menghadapi puncak krisi iklim global tersebut.

"Beranjak dari uraian di atas, Walhi Kepulauan Bangka Belitung menyatakan. Dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah dalam upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan dari aktifitas pertambangan timah, sehingga negara berperan dalam pemenuhan hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat," ujarnya.

Menurut Walhi Kepulauan Bangka Belitung, ada pun yang harus dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung yakni melakukan review terhadap kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) perusahaan tambang, AMDAL, mencabut IUP yang diterbitkan di wilayah kelola rakyat, Moratorium izin, reklamasi dan pasca tambang.

"Selain itu, negara harus mengakui dan melindungi ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat adat bersama pengetahuan lokalnya yang arif dan lestari terhadap alam.  Pengakuan dan perlindungan tersebut mutlak dilakukan untuk  keberlanjutan lingkungan dan keadilan ekologis," kata Jessix.

 

Editor : Muri Setiawan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network