Ada juga episode berkepanjangan yakni isu ini isu itu di lingkungan pemerintahan Kota Pangkalpinang, organisasi pemuda atau ormas yang tidak mendukung dan bukan pilihan Sang Penguasa konon tidak akan diakomodir, hingga suatu pagi seorang kakek umur 90-an yang notabene mantan pejabat zaman Orde Baru di Pangkalpinang, dengan geleng-geleng kepala seraya bertanya kepada saya apakah fenomena Kota Pangkalpinang yang dia dengar “kacau” itu benar atau tidak?. Kepada beliau saya jawab: “Maaf Tuan, tidaklah mungkin hamba tahu kisah dan isi istana dari sang penguasa, sebab hamba hanyalah rakyat jelata, hamba ini hanyalah budak sahaya yang tak tahu apa-apa”. (kira-kira begitulah dialog dalam sinetron Saur Sepuh atau Angling Darma)
Seorang aktor/aktris boleh menjadi pejabat pemerintahan, tapi kala menjabat jangan bermain drama ditengah rakyat. Bahkan Badut sekalipun boleh menjadi pejabat atau pemimpin, asal saat menjabat/memimpin jangan nge-badut. Tapi bagaimana kalau notabene bukan aktor/aktris tapi beraktor ria dan berbadut ria kala menjabat/memimpin?
Sinetron dalam dunia pemerintahan harusnya tidak boleh terjadi, apalagi hingga beberapa puluh episode. Sebab pemerintahan itu bukanlah drama apalagi terlalu di dramatisir. Ceritanya tidak jelas, aktornya tidak menarik, karakternya tidak kuat, dialognya tidak bermakna, sehingga penonton jadi “langok” dan “lungoi”. Tidak ditonton, siarannya hanya menampilkan itu-itu saja. Mau ditonton malah bikin mual dan muntah, ditambah lagi dengan “tim hore” yang berupa kaum penjilat berisikan anak-anak muda yang menurut saya masa balitanya keseringan jatuh dari “perayon” (ayunan), sehingga kepalanya agak sedikit “kerungkeng” atau bocor halus.
Oya, untuk diketahui bahwa Pemimpin itu adalah tempat menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah apalagi dirinya sendiri justru menjadi masalah. Sebab Pemimpin Bodoh pasti akan melahirkan Penjilat Bagak, sehingga orangtua kita tempo doeloe di Pulau Bangka menyebutkan dengan kalimat “Budu Bagak”. Apakah sinetron ini episodenya berlanjut dan berakhir klimaks ataukah cukup disini dan saling memperbaiki kualitas cerita dan berganti sutradara ataukah kita banting saja televisinya. Eh, ini bukan sinetron Bung, ini kejadian nyata! Maaf, saya salah!!
Salam Sinetron!(*)
(*) Ahmadi Sofyan, akrab disapa “Atok Kulop”. Dikenal sebagai Penulis dan Pemerhati Sosial dan Budaya di Bangka Belitung. Telah menulis lebih 80 judul buku dan 1.000 lebih opininya ditersebar di media cetak maupun online. Saat ini kesehariannya banyak berada di kebun tapi terus mengikuti perkembangan dunia dari pondok kebun tepi sungai.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait