“DI BAWAH pemimpin yang baik, anak buah yang bodoh pun ada gunanya. Tapi di bawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar-kacir”
KALIMAT di atas adalah bagian dari dialog dalam sinema elektronik (Sinetron) “Preman Pensiun”. Kalaulah tak salah, yang mengucapkan kalimat tersebut adalah pemeran Kang Komar. Salah satu aktor yang karakternya sangat saya sukai dalam sinetron tersebut. Karakternya kuat dan jelas, yakni seorang preman sangar dan gondrong namun berubah menjadi “hello kitty” ketika berhadapan dengan sang isteri yang dipanggil “Bebeb” dan sang Boss yang bernama“Kang Mus. Sinetron itu akan asyik dinikmati selain cerita yang menarik juga karakter yang kokoh dan jelas dari sang aktor/aktris, begitupula harusnya seorang pemimpin atau pejabat di pemerintahan.
Pemerintahan dibentuk pada sebuah Negara maupun Daerah bahkan sampai tingkat RT dan RW bukanlah sinetron atau bermain drama, walau pada kenyataannya para pejabat bahkan pempimpin seperti Kepala Daerah hingga Presiden sekalipun seringkali beraktor ria seperti dalam sebuah sinetron saja. Terlebih lagi ketika era media tanpa batas seperti sekarang ini. Semua orang bisa menjadi “wartawan” dan mengabarkan berbagai hal, termasuk diri sendiri. Makanya era teknologi seperti ini kerap kita saksikan berbagai kepalsuan hingga disebut era “dunia tipu-tipu”.
Misalnya, aslinya “ngireng” tapi kalau di depan kamera “seribu senyuman”. Aslinya panik dan geram, tapi depan kamera dan media bergaya bijak bak ustadz dengan kalimat-kalimat agamis. Padahal memaknai kalimat “Cobaan”, “Musibah” dan “Azab” dalam pandangan agama (Islam) saja tidak mengerti. Aslinya antagonis, tapi di depan kamera dihadapan khalayak berperan melankolis. Watak sesungguhnya adalah arogan, tapi gaya ditampilkan dihadapan media adalah gaya kebijaksanaan. Padahal, jika disadari, tidak pernah ada sinetron bertahan lama. Sebab jika sebuah sinetron terlalu panjang dan ceritanya muter-muter penuh persoalan nggak jelas, pasti akan ditinggalkan penonton (rakyat) sebab “langok” alias “lungoi”. Harus disadari bahwa sinetron hanyalah tontonan bukan tuntunan. Sedangkan kepemimpinan dan pemerintahan itu wajib menjadi tuntunan bukan justru menjadi tontonan.
Episode Sinetron Tak Layak Ditonton.
ENTAH sudah beberapa episode sinetron yang ditampilkan menjadi tontonan yang sama sekali sangat tidak menarik di pemerintahan Kota Pangkalpinang sejak beberapa tahun terakhir ini. Pengaduan penyuapan yang dilakukan oleh mantan Kepala Dinas PUPR ke KPK, Kota Pangkalpinang yang sejak dahulu kala disingkat PKP menjadi PGK (kode penerbangan) plus Logo atau apalah itu dan sangat tidak jelas maknanya tapi bisa mengalahkan logo resmi Pemerintah Kota Pangkalpinang yang sudah lama disahkan. Berubahnya gedung Hamidah yang berganti menjadi Pizza Hut, toko-toko ritel yang “belambur” di berbagai tempat dan dianggap mematikan toko kelontong rakyat jelata, pembangunan ikon-ikon yang jadi bahan lelucon.
Belum selesai disitu, ada juga episode tidak harmonisnya Wakil Walikota dan Walikota yang membuat sang Wakil Walikota dari sejak dilantik hingga masa jabatan tinggal beberapa bulan lagi seperti pepatah Arab, “wujuduhu ka adamihi” (keberadaannya seperti ketiadaannya).
Episode selanjutnya TKW (Tim Kreatif Walikota) yang digaji sebagai honorer, mobil dinas digunakan orang dekat yang bukan ASN. Ada pula episode yang bercerita tidak harmoninya hubungan Walikota dengan Gubernur saat itu, konon karena politik. Episode berikutnya adalah Sekda yang digantikan oleh keluarga dekat Walikota yang katanya adalah ipar, stiker atau poster dengan fhoto Walikota dan Isteri yang hendak menjadi Caleg dan ditempelkan di mobil-mobil dinas pemerintah tanpa ada Wakil Walikota, flexing isteri Walikota dengan barang mewahnya hingga sang Suami (Walikota) dipanggil KPK guna klarifikasi dan sebagainya, bungkamnya Walikota saat keluar dari gedung Merah Putih KPK plus salah jalan dan “ejekan” wartawan di Ibukota. Turunnya KPK guna investigasi ke Kota Pangkalpinang dan menelusuri jejak harta kepemilikan Walikota. Banyak buzzer berupa “tim hore” yang menyerang para pengkritik.
Ada juga episode berkepanjangan yakni isu ini isu itu di lingkungan pemerintahan Kota Pangkalpinang, organisasi pemuda atau ormas yang tidak mendukung dan bukan pilihan Sang Penguasa konon tidak akan diakomodir, hingga suatu pagi seorang kakek umur 90-an yang notabene mantan pejabat zaman Orde Baru di Pangkalpinang, dengan geleng-geleng kepala seraya bertanya kepada saya apakah fenomena Kota Pangkalpinang yang dia dengar “kacau” itu benar atau tidak?. Kepada beliau saya jawab: “Maaf Tuan, tidaklah mungkin hamba tahu kisah dan isi istana dari sang penguasa, sebab hamba hanyalah rakyat jelata, hamba ini hanyalah budak sahaya yang tak tahu apa-apa”. (kira-kira begitulah dialog dalam sinetron Saur Sepuh atau Angling Darma)
Seorang aktor/aktris boleh menjadi pejabat pemerintahan, tapi kala menjabat jangan bermain drama ditengah rakyat. Bahkan Badut sekalipun boleh menjadi pejabat atau pemimpin, asal saat menjabat/memimpin jangan nge-badut. Tapi bagaimana kalau notabene bukan aktor/aktris tapi beraktor ria dan berbadut ria kala menjabat/memimpin?
Sinetron dalam dunia pemerintahan harusnya tidak boleh terjadi, apalagi hingga beberapa puluh episode. Sebab pemerintahan itu bukanlah drama apalagi terlalu di dramatisir. Ceritanya tidak jelas, aktornya tidak menarik, karakternya tidak kuat, dialognya tidak bermakna, sehingga penonton jadi “langok” dan “lungoi”. Tidak ditonton, siarannya hanya menampilkan itu-itu saja. Mau ditonton malah bikin mual dan muntah, ditambah lagi dengan “tim hore” yang berupa kaum penjilat berisikan anak-anak muda yang menurut saya masa balitanya keseringan jatuh dari “perayon” (ayunan), sehingga kepalanya agak sedikit “kerungkeng” atau bocor halus.
Oya, untuk diketahui bahwa Pemimpin itu adalah tempat menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah apalagi dirinya sendiri justru menjadi masalah. Sebab Pemimpin Bodoh pasti akan melahirkan Penjilat Bagak, sehingga orangtua kita tempo doeloe di Pulau Bangka menyebutkan dengan kalimat “Budu Bagak”. Apakah sinetron ini episodenya berlanjut dan berakhir klimaks ataukah cukup disini dan saling memperbaiki kualitas cerita dan berganti sutradara ataukah kita banting saja televisinya. Eh, ini bukan sinetron Bung, ini kejadian nyata! Maaf, saya salah!!
Salam Sinetron!(*)
(*) Ahmadi Sofyan, akrab disapa “Atok Kulop”. Dikenal sebagai Penulis dan Pemerhati Sosial dan Budaya di Bangka Belitung. Telah menulis lebih 80 judul buku dan 1.000 lebih opininya ditersebar di media cetak maupun online. Saat ini kesehariannya banyak berada di kebun tapi terus mengikuti perkembangan dunia dari pondok kebun tepi sungai.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait