Terlepas dari latar belakang kebijakan yang ditempuh Pemprov Babel ini, pihaknya berharap agar setidaknya ada pendekatan humanis seperti pemberian pesangon agar pekerja yang mendadak kehilangan mata pencaharian ini memiliki cukup kesempatan untuk mencari pekerjaaan baru ataupun memulai usaha.
“Kita tidak tau apa yang melandasi keputusan pemprov untuk melakukan pemberhentian massal ini, apakah karena keuangan daerah sedang terganggu atau seperti apa. Tetapi terlepas dari itu, seharusnya para pekerja ini setidaknya tetap mendapatkan semacam pesangon atau apalah namanya,” kata Darusman.
Ditambahkan Darusman, kondisi PHK terhadap pekerja pemerintah khususnya PHL/honorer sangat subjektif dan justru memberi contoh yang kurang baik kepada perusahaan swasta. Sebagai regulator ketenaga-kerjaaan, pemerintah di berbagai tingkatan seolah memiliki keistimewaan untuk tidak mengindahkan aturan ketenaga-kerjaan yang mereka ciptakan sendiri.
Contoh paling sederhana adalah tidak diterapkkannya standar Upah Minimum bagi tenaga PHL/honorer dengan dalih badan pemerintah bukan lembaga bisnis, padahal di dalam aturannya sama sekali tidak ada ketentuan yang memberikan pengecualian bagi lembaga pemerintah untuk tidak menerapkan Upah Minimum.
“Fenomena seperti ini terlihat sudah sangat lazim dan terjadi hampir disemua pemerintahan di Indonesia, dari sisi upah, pelindungan tenaga kerja, lembaga pemerintah justru semacam mendapat pengecualian untuk tidak menjalankan regulasi ketenaga kerjaan. Apalagi selama ini belum ada pekerja honorer atau PHL ini dimanapun yang berani menyuarakan atau memperjuangkan nasib mereka, sehingga pemerintah merasa baik-baik saja dengan segala pengecualian ini. Saya berani katakan, negara ini tidak sedang baik-baik saja dalam hal pemenuhan hak dan perlindungan ketenaga-kerjaan,” tutur Darusman.
Editor : Muri Setiawan