PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menyasar tenaga PHL/honorer di lingkungan Pemprov Kepulauan Bangka Belitung (Babel), dinilai sebagai salah satu contoh ketidakberpihakan negara melalui UU Omnibuslaw Cipta Kerja terhadap hak-hak pekerja. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) mendorong para PHL/honorer yang terdampak, untuk memperjuangkan atau setidaknya menyuarakan hak mereka melalui instansi dan stake holder terkait.
Menjelang bulan puasa dan lebaran tahun ini, Pekerja Harian Lepas (PHL) atau honorer dilingkungan pemprov Babel mendapat kabar yang tidak mengenakkan. Instansi tempat mereka bekerja mencari nafkah, kini memutuskan untuk melakukan PHK massal dengan alasan yang belum diungkapkan dengan jelas.
Menurut ketua K-SPSI Bangka Belitung, Darusman, lemahnya posisi tawar pekerja ini dinilai sebagai bentuk ketidak berpihakan pemerintah melalui pemberlakuan UU Omnibus Law.
“Ya ini salah satu dampak pemberlakuan UU Omnibus Law Cipta Kerja, pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan merugikan pekerja itu terkesan sangat mudah, berbeda dengan aturan ketenagakerjaan yang lama,” kata Darusman, jumat (26/1/2024).
Terlepas dari latar belakang kebijakan yang ditempuh Pemprov Babel ini, pihaknya berharap agar setidaknya ada pendekatan humanis seperti pemberian pesangon agar pekerja yang mendadak kehilangan mata pencaharian ini memiliki cukup kesempatan untuk mencari pekerjaaan baru ataupun memulai usaha.
“Kita tidak tau apa yang melandasi keputusan pemprov untuk melakukan pemberhentian massal ini, apakah karena keuangan daerah sedang terganggu atau seperti apa. Tetapi terlepas dari itu, seharusnya para pekerja ini setidaknya tetap mendapatkan semacam pesangon atau apalah namanya,” kata Darusman.
Ditambahkan Darusman, kondisi PHK terhadap pekerja pemerintah khususnya PHL/honorer sangat subjektif dan justru memberi contoh yang kurang baik kepada perusahaan swasta. Sebagai regulator ketenaga-kerjaaan, pemerintah di berbagai tingkatan seolah memiliki keistimewaan untuk tidak mengindahkan aturan ketenaga-kerjaan yang mereka ciptakan sendiri.
Contoh paling sederhana adalah tidak diterapkkannya standar Upah Minimum bagi tenaga PHL/honorer dengan dalih badan pemerintah bukan lembaga bisnis, padahal di dalam aturannya sama sekali tidak ada ketentuan yang memberikan pengecualian bagi lembaga pemerintah untuk tidak menerapkan Upah Minimum.
“Fenomena seperti ini terlihat sudah sangat lazim dan terjadi hampir disemua pemerintahan di Indonesia, dari sisi upah, pelindungan tenaga kerja, lembaga pemerintah justru semacam mendapat pengecualian untuk tidak menjalankan regulasi ketenaga kerjaan. Apalagi selama ini belum ada pekerja honorer atau PHL ini dimanapun yang berani menyuarakan atau memperjuangkan nasib mereka, sehingga pemerintah merasa baik-baik saja dengan segala pengecualian ini. Saya berani katakan, negara ini tidak sedang baik-baik saja dalam hal pemenuhan hak dan perlindungan ketenaga-kerjaan,” tutur Darusman.
Meski bukan bagian dari serikat pekerja yang tergabung dalan serikat pekerja, Darusman mengaku prihatin dengan situasi yang dihadapi oleh 300 pekerja PHL ini, secara kelembagaan dirinya membuka diri untuk menerima konsultasi jika para pekerja ini membutuhkan masukan untuk memperjuangkan hak-hak pekerja yang mungkin belum dipenuhi oleh Pemprov Babel.
“Hanya saja, para pekerja PHL atau honorer ini tidak menjadi anggota dari Serikat Pekerja, jadi kami di SPSI tidak bisa secara langsung mendampingi atau mengadvokasi mereka dalam memperjuangkan hak-haknya. Tapi setidaknya kami siap dijadikan tempat berkonsultasi dan kami siap mengarahkan bagaimana mereka dapat memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja, entah itu dengan mendatangi Disnaker atau meminta atensi dari Komisi IV DPRD yang membidangi ketenaga-kerjaan," kata Darusman.
Editor : Muri Setiawan