get app
inews
Aa Read Next : Menolak Lupa: September Hitam! Sebuah Refleksi Kritis Konflik Agraria dalam Perspektif HAM

Kemandirian Personal Penyelenggara Pemilu Wujudkan Pemilu Jurdil

Rabu, 10 Mei 2023 | 19:13 WIB
header img
Ilustrasi Pemilu 2024 (Foto : Istimewa)

KEMANDIRIAN atau independensi penyelenggara pemilu sangatlahpenting, dan memegang salah satu peran sentral dalam menghasilkan pemilu yang adil dan mendapat kepercayaan rakyat. Dalam UUD 1945 pasal 22E ayat (5) telah ditegaskan: Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu  komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan ketentuan tersebut maka jelas dan kuat kepastian hukum tentang penyelenggara pemilu yang mandiri dan tidak dapat di intervensi serta lepas dari kekuasaan pemerintah, partai politik maupun golongan-golongan tertentu. 

Dalam berbagai putusan pengujian undang-undang, Mahkamah Kontitusi menafsirkan bahwa kemandirian penyelenggara pemilu yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 adalah kemandirian institusional, kemandirian fungsional dan kemandirian personal. MK juga memberikan penilaian bahwa frase “suatu komisi pemilihan umum” dalam pasal 22E UUD 1945 tidaklah merujuk kepada nama sebuah institusi , tetapi menunjuk pada satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Menurut MK, fungsi penyelenggaraan pemilu tidak hanya dilakukan oleh KPU tapi juga oleh Bawaslu yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu dan Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu.

Dari aspek kemandirian personal, penyelenggara pemilu diharapkan bersifat non-partisan dan tidak memihak atau netral. Dalam Undang-Undang No 7 tahun 2017, aspek personal ini ditunjukkan antara lain dengan syarat menjadi penyelenggara pemilu yang harus non-partisan dan non-pemerintahan, serta proses rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu dilakukan oleh tim seleksi dari unsur pemerintah, akademisi dan masyarakat.

Dalam proses seleksi KPU dan Bawaslu yang dilakukan oleh tim seleksi di tingkatan RI, Provinsi maupun Kabupaten/Kota, seringkali muncul anggapan adanya rekomendasi dari ormas atau kelompok tertentu yang menjadi salah satu pertimbangan dalam penilaian oleh tim seleksi. Sebenarnya hal ini bisa dianggap sebagai sebuah kewajaran mengingat penyelenggara pemilu juga diharapkan mempunyai jaringan di masyarakat dan kemampuan dalam berorganisasi, yang dapat ditunjukkan dengan adanya dukungan atau rekomendasi dari ormas atau kelompok tertentu di dalam masyarakat. 

Berkaitan dengan aspek kemandirian personal penyelenggara pemilu, hal yang perlu menjadi perhatian serius adalah apakah rekomendasi yang diberikan tersebut tidak akan menghilangkan atau setidaknya mengurangi kemandirian dari seorang penyelenggara pemilu? Ada pepatah yang mengatakan “There is no free lunch “ atau tidak ada makan siang yang gratis, ungkapan ini menggambarkan bahwa hal-hal yang terlihat gratis selalu memiliki biaya yang harus dibayarkan oleh seseorang. Akan sangat berbahaya jika rekomendasi atau dukungan tersebut adalah sesuatu yang tidak cuma-cuma atau gratisan sehingga menghasilkan proses yang transaksional, seperti yang biasa terjadi dalam negosiasi politik, “saya mendapat apa, anda mendapat apa dan bagaimana caranya”. Atau dalam politik dikenal juga istilah “Politik Balas Budi”, ketika saya sudah mendapat bantuan dari anda, maka balas budi apa yang harus saya berikan untuk anda.

Proses transaksional yang terjadi mungkin bisa saja bukan pertukaran uang atau bentuk materi lainnya, tapi bisa juga berbentuk sharing power atau bagi-bagi kekuasaan. Seperti kita ketahui bersama, proses pemilihan penyelenggara pemilu terjadi di semua tingkatan. Jika sudah ada yang terpilih di tingkatan yang lebih tinggi, akan lebih mudah mengkondisikan untuk pemilihan tingkatan di bawahnya, terutama untuk pemilihan penyelenggara pemilu yang bersifat adhoc/sementara, dimana proses pemilihannya biasanya diberikan kewenangan kepada penyelenggara pemilu yang berada di tingkat atasnya. 

Maka tidak heran jika ada muncul stigma atau anggapan di masyarakat jika proses pemilihan penyelenggara pemilu sejatinya sudah di kavling-kavling atau ditentukan untuk kelompok-kelompok, organisasi-organisasi atau orang-orang tertentu. Walaupun mungkin tidak semua terjadi praktek seperti itu tapi jika terjadi di beberapa tempat saja, setidaknya akan mengurangi kesempatan masyarakat untuk dapat bersaing secara adil dan setara demi ikut berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu dalam hajatan yang disebut-sebut sebagai pesta demokrasi atau pesta rakyat.

Lalu apakah salah jika seseorang yang mempunyai latar belakang anggota ormas atau kelompok tertentu mendapatkan dukungan dalam bentuk rekomendasi dari organisasi atau kelompoknya untuk menjadi penyelenggara pemilu? Tentu tidak salah. Tapi seharusnya diperlukan mekanisme atau sistem tertentu yang dipersyaratkan di proses pendaftaran, untuk mencegah terjadinya conflict of interest yang dapat menghilangkan atau mengurangi kemandirian orang tersebut sebagai penyelenggara pemilu jika terpilih nantinya. Dan dalam proses seleksinya, penilaian akan integritas, kompetensi dan kapabilitas peserta harus lebih diutamakan daripada rekomendasi-rekomendasi yang dimiliki.

Salah satu yang mungkin perlu diatur dengan jelas salah satunya adalah tentang mekanisme pemberian rekomendasi tersebut. Seringkali rekomendasi yang diberikan terkesan sembunyi-sembunyi, dengan bisik-bisik di belakang punggung, melalui pesan singkat dari orang per orang, telepon pribadi ke orang tertentu, dll, sehingga muncul istilah “orang titipan” dalam prakteknya, sebagaimana kita biasa menitipkan barang atau benda kepada orang lain yang tentunya tidak dilakukan secara terbuka di depan umum. 

Seandainya rekomendasi memang diperbolehkan dalam proses seleksi, sebaiknya diatur agar dilakukan secara terbuka, diumumkan secara luas kepada masyarakat dan kalo perlu disiarkan secara resmi di media. Hal itu perlu dilakukan sebagai bentuk penerapan asas transparansi dan akuntabilitas dalam proses rekrutmen, dimana hal itu selalu digembar-gemborkan oleh semua penyelenggara pemilu ketika proses rekrutmen dilakukan. Dengan dilakukan secara terbuka, baik yang menerima rekomendasi maupun yang memberikan rekomendasi, mempunyai beban moral untuk mempertanggung jawabkan rekomendasi tersebut kepada masyarakat. 

Untuk pemberi rekomendasi, tentunya ada konsekuensi moral yang tinggi jika ternyata merekomendasikan orang yang tidak capable dan berintegritas , terutama kalo yang di rekomendasikan hanya karena mempunyai hubungan kekeluargaan, pertemanan atau kesamaan organisasi dan kelompok, apalagi jika ternyata pemberi rekomendasi adalah orang yang mempunyai kedekatan dengan partai politik tertentu atau peserta pemilu lainnya.

Dikarenakan eksistensi penyelenggara pemilu sebagai institusi yang mandiri merupakan amanat UUD 1945, dan terselenggaranya pemilu yang memenuhi asas dan berintegritas adalah harapan seluruh rakyat, maka adalah kewajiban semua pihak di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini untuk mengambil peran mencitrakan KPU/Bawaslu/DKPP sebagai institusi yang mandiri, menyakinkan rakyat Indonesia bahwa penyelenggara pemilu tidak dapat lagi diintervensi oleh kekuasaan pemerintah, partai politik atau golongan/kelompok tertentu. Agar terwujud kualitas kepercayaan rakyat terhadap hasil pemilu yang akan menjadi modal sangat berharga dalam perjalanan demokrasi dan pemerintahan ke depan, setidaknya untuk 5 tahun berikutnya.

Saat ini sedang berlangsung proses rekrutmen penyelenggara pemilu di beberapa Provinsi dan Kabupaten/kota di seluruh Indonesia, tentunya harapan besar rakyat terhadap kemandirian personal penyelenggara pemilu sedang dipertaruhkan. Tim seleksi dan mereka-mereka yang mempunyai kewenangan untuk menentukan hasil seleksi, dituntut untuk dapat mengedepankan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan-kepentingan lainnya. Jika hasil yang didapatkan bisa menghapus stigma atau anggapan buruk terhadap penyelenggara pemilu, akan tumbuh keyakinan rakyat terhadap penyelenggara pemilu. Satu masalah yang merusak keyakinan rakyat terhadap hasil pemilu dan masalah yang menimbulkan rakyat menjadi apatis terhadap penyelenggaraan pemilu, dapat teratasi. ***

 

Artikel ini ditulis oleh Fahmi Ramadhan, Warga Kota Pangkalpinang. 

 

Editor : Muri Setiawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut