2. Contoh Cerpen tentang Kehidupan Kedua
Tragis
Karya: Sumiati
Air matanya mengering, raut mukanya lembab, dadanya pun tampak semakin sesak oleh beban hidupnya. Sama seperti hari-hari kemarin, selalu saja tidak bisa akur dengan suami. Hidup yang dia jalani, seperempat abad lamanya, tidak membuat pasangan kian harmonis. Sejak awal pernikahan ada satu sikap yang sangat dia dambakan yang tidak dimiliki oleh suaminya, yaitu romantis. Dalam satu rasa ini dia harus rela melewatinya, demi kelanggengan mahligai rumah tangganya. "Mba apa sikapku masih seperti dulu?" Sapa Hana ketika kita baru bertemu setelah lima belas tahun lamanya tidak bertemu. "Ya mba tidak ada yang berubah, semua tetep seperti dulu. Kecuali,...." Sambung sahabatnya membuat penasaran Hana. " Apa Mba? Tanyanya nggak sabar. "Bodi kita, ya saya dan Mba Hana sekarang gemuk." Jawabku sekenanya.
Kami pun tertawa berdua, membenarkan ucapanku. Setelah itu kami pun mengucapkan kata perpisahan sejenak lantaran akan mandi untuk pembukaan workshop dari kementerian sore itu. Empat hari bersama rasanya kurang untuk menceritakan kenangan yang telah terajut, mulai dari mengenang masa-masa kami kuliah sampai pada cerita keluarga, karier dan segala kenangan yang pernah ada di antara kita.
Waktu itu kebetulan kami tidak sekamar, namun sering kita ketemuan, pada saat-saat istirahat kegiatan kami. Ketika menyapa kami memang sama, yaitu Mba. Mba Hana panggil saya Mba karena usia saya lebih tua, namun saya panggil Mba Hana dengan sebutan Mba, karena Mba Hana adalah kakak kelas saya di kampus. Entah pertemuan ke berapa pada kegiatan workshop kali ini, Mba Hana tampak riang, namun sebagai sahabat yang telah lama bersama, saya tidak bisa dikibuli, ada rasa yang tersimpan. Dan memang benar tebakanku, ketika saya bertandang ke kamarnya. "Mba....." begitu dia mengawali setelah kita menyeruput teh yang sengaja Mba Hana buat untuk kami berdua di kamarnya. "Apa salah kalau batinku protes perjuangkan keromantisan diantara kami." Lanjutnya, sementara saya tetap menjadi pendengar setia. Suara HP Mba Hana memaksa kami menjeda percakapan, dan segera Mba Hana mengangkat HPnya.
Samar-samar saya dengar ada suara laki-laki dari balik HP tersebut. Wajah sumringah terpancar ketika dia menerima panggilan di HPnya. Lama, lama sekali berlangsung panggilan itu, tidak ingin saya mengganggu dan mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut, sehingga dengan isyarat saya berpamitan untuk ke kamar yang letaknya hanya dua kamar setelah kamar Mba Hana. Dan saya pun pergi setelah ada isyarat mengiyakan. Malam ini sesi telah berakhir, kami sempatkan bertemu kembali di lobi hotel. Sengaja kami memilih di sofa warna lembut, agak terpisah dari sofa-sofa lain karena letaknya di pojok. Harumnya tiga kelopak bunga mawar kecil yang terpasang di meja persis di hadapan kami menghampiri dengan lembut.
"Mba kemarin asyik banget berteleponnya. Dari suami ya." Tanyaku kepo mengawali pembicaraan. "Bukan Mba, itu yang telepon tadi adalah teman. Namanya Pak Bagus, beliau satu sekolah, wakasek humas di sekolah. Ada masalah sedikit di sekolah jadi dia telp." Jawab Mba Hana, sang kepala sekolah di tempat Pak Bagus mengajar. "Halah... masalah apa masalah." Lanjutku mengorek. "Sebenarnya bukan sekadar masalah sekolah, tapi masalah hati." Mba Hana akhirnya mengaku. "Tuh... betul kan perasaanku, makanya sengaja saya tinggalkan tadi karena saya tidak ingin mengganggu. Memang sejak kenal dengan Pak Bagus, Mba Hana merasa ada teman. Karena Pak Bagus adalah sosok idola yang Mba Hana Idam-idamkan.
Pak Bagus dan Mba Hana cocok. Namun mereka membungkus pertemanan dengan sangat rapi, sehingga semua guru-guru di sekolah tersebut tidak mengetahui kalau antara kepala sekolah dengan wakasek humas teman dekat. Semua komunikasi yang kasat mata tampak profesional, sebagai layaknya antara kepala sekolah dengan wakaseknya. Semua tampak biasa saja didepan umum "Mba, Pak Bagus mengerti aku, beliau perhatian, memang sering saya curhat sama dia. Apa salah mba? Aku masih butuh teman yang mengerti. Memang beliau juga sudah punya istri. Lega rasanya kalau saya menumpahkan beban sama beliau." Lanjut Mba Hana dengan bangga. "Memang tidak ada tempat curhat lain? Suami Mba Hana, misalnya" sambungku dengan setengah tidak setuju dengan tingkahnya. "Mba, sejak berumah tangga, komunikasi kami hambar. Komunikasi simbolisme, aku menyebutnya. Komunikasi yang tidak pernah lebih dari dua atau tiga kata, sebatas menanyakan keadaan anak-anak, misalnya. Itu semua aku biarkan. Suamiku adalah sosok yang sangat berharga bagi pengembangan karierku. Tapi semenjak saya jadi kepala sekolah, beberapa bulan setelah itu, suami pensiun, komunikasi kami semakin susah. Tanpa alasan suami selalu menghindar.
"Mba Hana mulai menjelaskan dengan wajah sedih, dan terlihat air matanya menetes. "Mba aku bukan patung yang tidak perlu sentuhan atau sapaan. Tanpa masalah, tanpa alasan suamiku meminta izin untuk pergi... pergi entah ke mana. Katanya akan mengaji ke pondok pesantren. Suami macam mana yang akan meninggalkan istri. Namun saya tetap bertahan. Hanya cara berkomunikasi dengan Pak Bagus, sebagai tempat pelampiasan" Lanjut Mba Hana dengan wajah sedih. Saya masih menjadi pendengar, meski mataku semakin tidak kompromi. Maklum jam sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB. Saya masih menampung tumpahan beban sahabatku. Hingga dia cerita kalau mereka sudah lama tidur sendiri, karena suami tidak mau diganggu. Mereka tidak pernah bertengkar, rumah tangga berjalan apa adanya.
Tapi ada rasa yang tak terbalaskan, ada rasa yang tak terbuktikan, Mba Hana ingin keromantisan. Ya meski ia dapatkan dari yang lain. Meski dia sadar itu dosa. Sesuatu yang tidak selayaknya terjadi, mestinya. Hingga pada hari terakhir, kami berpisah. Beberapa bulan setelah pertemuan di kegiatan workshop saya pulang kampung halaman untuk berlebaran. Kampung saya denga Mba Hana memang berdekatan. Melalui tayangan televisi lokal saya mendengar berita kalau seorang suami bunuh diri. Dari alamat yang diberitakan saya kenal betul kalau itu adalah alamat Mba Hana. Suami Mba Hana memilih dengan cara sepihak mengakhiri hidupnya. Tragis. Inalilahi wa innailaihi rojiun.
Editor : Muri Setiawan