JAKARTA, celebrities.id - Cerpen tentang kehidupan terbaru yang sangat menyentuh pada artikel kali ini mungkin bisa menjadi bacaan sekaligus referensi kamu untuk menambah khasanah sastra di sekolah ataupun di rumah. Kamu juga bisa mempelajari seperti apa contoh cerpen tentang kehidupan yang singkat namun bisa sampai ke pembacanya.
Cerita pendek bisa kita maknai sebagai prosa fiksi yang mengisahkan tentang sebuah peristiwa yang dialami oleh tokoh utama.
Struktur pembangun cerita pendek terdiri dari tiga bagian yakni orientasi, komplikasi dan resolusi. Salah satu bagian terpenting adalah orientasi yang mengandung pengenalan latar cerita seperti waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita pendek.
Merujuk pada Modul Pembelajaran SMA Bahasa Indonesia Kelas XI (2020) oleh Sumiati, cerpen didefinisikan sebagai prosa berisi gagasan, pikiran, pengalaman yang diimajinasikan dan membentuk suatu peristiwa dengan satu peristiwa puncak.
Cerpen dapat dimaknai sebagai cerita fiksi karena cerita pendek tidak benar-benar terjadi namun dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.
Berikut ini beberapa cerpen tentang kehidupan yang bisa kamu baca dan pelajari
Contoh Cerpen tentang Kehidupan
1. Contoh Cerpen tentang Kehidupan Pertama
Mukena Untuk Ibu. Foto: Ilustrasi/ net
Mukena untuk Ibu
Karya: Gita Mawadah Y
Bu Ima adalah seorang janda yang ditinggal mati Suaminya karena kecelakaan. Dia juga merupakan korban kecelakaan bersama Suaminya. Akibatnya, kaki kanan Bu Ima pincang satu. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Bu Ima menjadi buruh cuci. Ia bersyukur memiliki seorang anak yang penurut, rajin, dan sangat berbakti padanya. Ira namanya. Ira seorang anak yang tidak pernah menuntut macam-macam pada Ibunya. Bagi Ira, bisa bersekolah saja sudah sangat bersyukur. Malam itu angin berhembus sangat kencang, sehingga masuk melalui celah-celah dinding rumah Bu Ima yang terbuat dari bambu. Ira yang tertidur pulas, terbangun dari tidurnya.
Angin keras dan dingin menyapu wajahnya. Ibunya yang biasa tidur disampingnya, sudah tidak ada. “Ibu di mana?” gumam Ira. Lalu Ira mencari ke luar kamar. Ira mendapati Ibunya sedang shalat tahajud. Selesai shalat, Ibunya terkejut, “Ira..., kenapa bangun, Nak? “Tidak Bu, Ira hanya kaget, kok Ibu tidak ada di tempat tidur.” “Ira tidur lagi ya? Ibu mau menyelesaikan cucian, “ jawab Ibunya.
Bu Ima bergegas menuju sumur. Ia mulai menimba air, kemudian merendam pakaian satu demi satu. Ira berniat mengikuti, tetapi Ibunya melarang.
“Sudahlah Ira, nanti kamu masuk angin. Lagi pula besok Ira kan sekolah. Nanti Ira kesiangan, “ ujar Ibunya.
“Tapi Ira ingin membantu Ibu. Sudah larut malam Ibu kok masih bekerja. Ira tidak tega melihat Ibu,” jawab Ira dengan memelas. “Baiklah Ira, biar cucian ini Ibu rendam saja dulu. Besok pagi baru Ibu cuci. Sekarang kita tidur saja, ya. Ayo, kita tidur,” ajak Ibunya.
Setelah Ira tertidur pulas, Bu Ima pun bergegas kembali ke sumur. Satu per satu pakaian yang ia rendam sedari tadi mulai ia sikat dan kucek.
Tak terasa adzan subuh pun berkumandang. Bersamaan dengan itu pekerjaan Bu Ima pun selesai. Lalu ia cepat-cepat menyalakan api untuk memasak sarapan buat Ira. Ira terbangun saat mencium bau masakan Ibunya. Ia cepat-cepat pergi ke dapur. “Wow..., bau tempe goreng, sedap sekali baunya, Bu?” ujar Ira.
“Iya Ira, Alhamdulillah, kemarin Ibu dapat rejeki, jadi Ira bisa makan pakai tempe lagi,” jawab Ibu. “Pasti dong Bu, Ira selalu berdo’a untuk kita. Sekarang Ira mau shalat subuh dulu ya, Bu” jawab Ira. Ibu Ima tersenyum bahagia. Baginya Ira adalah hartanya yang tak ternilai harganya dibandingkan dengan kekayaan yang ada di dunia ini.
Dan ia sangat bersyukur sekali karena Ira anak yang salehah. Selesai shalat subuh, Ira pergi ke dapur. “Bu..., sekarang Ibu shalat subuh dulu, biar Ira yang melanjutkan memasak,” kata Ira pada Ibunya. “Baiklah Ira, tapi hati-hati ya Nak,” jawab Ibunya.
Selesai masak, Ira menuju ke kamar. Ira sedih ketika melihat Ibunya menggosok-gosok kakinya dengan minyak serai yang dibuat Ibunya sendiri. Tetapi yang membuat Ira terpaku adalah mukena yang dikenakan Ibunya tampak lusuh sekali. Jahitannya yang mulai robek dan warna yang seharusnya putih, tampak seperti kuning kecoklatan, dan kusam.
“Ya Allah, selama ini mukena yang Ibu kenakan ternyata tidak layak lagi,” keluh Ira dalam hati. Merasa ada yang memperhatikan, Ibunya melihat ke luar kamar. “Ada apa Nak? Kamu kelihatan sedih. Apakah masakanmu sudah selesai dibuat?” tanya Ibunya. “Sudah, Bu. Masakannya sudah disiapkan di atas tikar. Bu, Ira mau tanya, apakah mukena Ibu hanya satu saja?” tanya Ira.
Ibunya menghela nafas, “Mukena ini satu-satunya peninggalan dari Ayahmu. Sayang kalau tidak dipakai. Ibu tahu kalau mukena ini sudah lusuh, tapi kan masih bisa dipakai. Shalat itu yang penting niatnya, dan juga bersih dari najis. Lagi pula, kalau beli yang baru pasti harganya sangat mahal. Mana ada uangnya. Kita bisa makan saja sudah alhamdulillah. Sudahlah Ira, ini sudah siang, nanti Ira terlambat ke sekolah.” Sebenarnya Ira anak yang pintar. Ia selalu mendapat peringkat satu di sekolahnya, meskipun hanya seorang anak buruh cuci.
Ira sering mendapat cemoohan dan ejekan dari teman-temannya, tetapi ia tetap bangga karena dapat membuktikan pada semuanya, kalau ia berprestasi meskipun hidup dalam kekurangan. Sepulang sekolah, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Ira pun berlari dan berteduh di emperan sebuah toko. Tanpa sengaja, ia melihat sebuah mukena yang dipajang di etalase. Ira mencoba untuk masuk, tetapi takut dimarahi karena bajunya sedikit basah dan sepatunya pun kotor. Akan tetapi pelayan toko di tempat ia berteduh sangat ramah. “Ada apa, Dik? Adik mau beli sesuatu? Mari ke sini, masuk saja, tidak apa-apa!” ajak pelayan toko tersebut. “Saya hanya melihat-lihat saja, Kak. Itu mukena yang di ujung sana, bagus sekali, Kak.
Tapi sayangnya saya tidak punya uang untuk membelinya,” jujur Ira berterus terang pada pelayan toko. “Oh itu murah Dik, hanya seratus ribu saja!” jawab pelayan toko itu. Sebenarnya mukena itu bentuknya sangat sederhana dan harganya terjangkau bagi sebagian orang. Tetapi bagi Ira, harga segitu sangatlah mahal. Apalagi penghasilan Ibunya satu hari hanya sepuluh sampai lima belas ribu rupiah. Hanya cukup untuk makan saja. Hujan pun reda, Ira berpamitan pada pelayan toko itu. Selama di perjalanan pulang, ia terus berpikir dari mana ia bisa mendapatkan uang.
Lalu ia mendapat akal, “oh iya, ini kan musim hujan. Aku punya payung di rumah. Walaupun jelek, tetapi masih bisa dipakai. Aku pakai aja buat ojek payung,” gumamnya dalam hati. Lalu sambil tersenyum ia pun berlari pulang. Sampai di rumah, Ira langsung menemui Ibunya. “Assalamualaikum, Ira pulang, Bu.” “Waalaikumsalam, Ira kok lama sekali, dari mana Nak. Bukankah pulang sekolahnya sudah dari tadi?” tanya Ibunya. “Ira tadi berteduh dulu Bu. O ya, tadi saat berteduh, Ira melihat mukena. Bagus deh Bu. Kelihatan sederhana, tetapi harganya mahal Bu, seratus ribu,” cerita Ira. ”Sudahlah Ira, tak usah kita pikirkan tentang mukena lagi. Sekarang Ira ganti baju lalu sholat dzuhur kemudian makan!” ujar Ibunya. Ira mengangguk kemudian ia pergi meninggalkan Ibunya.
Lebaran tinggal dua hari. Ira akhirnya memutuskan untuk memecah celengan, dan menghitung uang tabungannya. Alhamdulillah, ternyata jumlahnya sudah cukup untuk membeli mukena Ibunya. Dengan riang gembira ia pergi ke toko itu. Lama ia mengamati mukena-mukena yang dipajang dalam etalase. Tetapi harganya terlampau mahal. Ira hanya mau mukena putih sederhana. Mukena dengan harga sesuai dengan uang yang dibawanya. Ira menengok ke sana ke mari. Semua pelayan toko sedang sibuk semua. Ia membalikan badannya hendak keluar toko.
Tetapi tiba-tiba, “Dik...!” sebuah suara memanggilnya. “Kata teman Kakak, beberapa hari yang lalu Adik cari Kakak ya? Ada apa?” tanya pelayan toko itu. Ira menghela napas panjang. “Percuma saja Kak, mukenanya sudah laku,” jawab Ira. “Oh, itu masalahnya,” seru pelayan toko itu. Pelayan lalu meninggalkan Ira yang termangu. Tak lama kemudian pelayan toko itu memanggil Ira. “Dik, sini, ini mukena yang dulu kamu minta simpan, kan?” seru pelayan toko itu. Ira pun tersenyum gembira, dan dengan riang ia menghampiri. “Terima kasih ya Kak. Kakak baik sekali. Ini uangnya, Kak. Ibu saya pasti senang sekali,” kata Ira.
“Ya Dik, sama-sama. Hati-hati di jalan ya,” ujar pelayan toko itu sambil tersenyum. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Dengan kebingungan Ira mencari tempat berteduh. Akhirnya dapatlah ia tempat berteduh. Namun tanpa ia sadari ternyata di depannya terdapat genangan air. Tiba-tiba, “crat...,” air genangan itu dilewati mobil dan menyiprat ke tubuhnya, bahkan mengotori plastik bungkus mukena. Dengan cepat ia membersihkan plastik itu dari cipratan air kotor. Tetapi tanpa ia sadari, plastiknya terbuka dan mukena miliknya terjatuh ke tanah yang becek.
Mukena yang tadinya putih kini menjadi kotor. Ira sedih dan menangis. Sesampainya di rumah, Ibunya terkejut. “Ira, ada apa Nak? Kenapa menangis dan kenapa badanmu kotor semua? Dan itu..., mukena milik siapa?” tanya Ibunya bingung. “Maafkan Ira Bu, selama ini Ira bekerja ojek payung agar Ira bisa membelikan Ibu mukena. Tapi mukena ini sekarang kotor karena jatuh di tanah yang becek,” jawab Ira sambil menangis tersedu-sedu. Bu Ima memeluk Ira dengan penuh haru. Ia tak menyangka anaknya begitu perhatian kepada dirinya. “Ira tidak usah sedih, noda ini bisa hilang kok. Sekarang Ira mandi dulu, terus makan, setelah itu kita cuci sama-sama mukena ini,” ajak Bu Ima. Ira mengangguk lalu pergi menuju kamar mandi. Hari raya pun tiba, Ira dan Bu Ima bergegas pergi ke lapangan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Ira pun tersenyum puas karena mukena yang dipakai Ibu sudah kembali putih bersih. Suci seperti hari raya ini.
2. Contoh Cerpen tentang Kehidupan Kedua
Tragis
Karya: Sumiati
Air matanya mengering, raut mukanya lembab, dadanya pun tampak semakin sesak oleh beban hidupnya. Sama seperti hari-hari kemarin, selalu saja tidak bisa akur dengan suami. Hidup yang dia jalani, seperempat abad lamanya, tidak membuat pasangan kian harmonis. Sejak awal pernikahan ada satu sikap yang sangat dia dambakan yang tidak dimiliki oleh suaminya, yaitu romantis. Dalam satu rasa ini dia harus rela melewatinya, demi kelanggengan mahligai rumah tangganya. "Mba apa sikapku masih seperti dulu?" Sapa Hana ketika kita baru bertemu setelah lima belas tahun lamanya tidak bertemu. "Ya mba tidak ada yang berubah, semua tetep seperti dulu. Kecuali,...." Sambung sahabatnya membuat penasaran Hana. " Apa Mba? Tanyanya nggak sabar. "Bodi kita, ya saya dan Mba Hana sekarang gemuk." Jawabku sekenanya.
Kami pun tertawa berdua, membenarkan ucapanku. Setelah itu kami pun mengucapkan kata perpisahan sejenak lantaran akan mandi untuk pembukaan workshop dari kementerian sore itu. Empat hari bersama rasanya kurang untuk menceritakan kenangan yang telah terajut, mulai dari mengenang masa-masa kami kuliah sampai pada cerita keluarga, karier dan segala kenangan yang pernah ada di antara kita.
Waktu itu kebetulan kami tidak sekamar, namun sering kita ketemuan, pada saat-saat istirahat kegiatan kami. Ketika menyapa kami memang sama, yaitu Mba. Mba Hana panggil saya Mba karena usia saya lebih tua, namun saya panggil Mba Hana dengan sebutan Mba, karena Mba Hana adalah kakak kelas saya di kampus. Entah pertemuan ke berapa pada kegiatan workshop kali ini, Mba Hana tampak riang, namun sebagai sahabat yang telah lama bersama, saya tidak bisa dikibuli, ada rasa yang tersimpan. Dan memang benar tebakanku, ketika saya bertandang ke kamarnya. "Mba....." begitu dia mengawali setelah kita menyeruput teh yang sengaja Mba Hana buat untuk kami berdua di kamarnya. "Apa salah kalau batinku protes perjuangkan keromantisan diantara kami." Lanjutnya, sementara saya tetap menjadi pendengar setia. Suara HP Mba Hana memaksa kami menjeda percakapan, dan segera Mba Hana mengangkat HPnya.
Samar-samar saya dengar ada suara laki-laki dari balik HP tersebut. Wajah sumringah terpancar ketika dia menerima panggilan di HPnya. Lama, lama sekali berlangsung panggilan itu, tidak ingin saya mengganggu dan mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut, sehingga dengan isyarat saya berpamitan untuk ke kamar yang letaknya hanya dua kamar setelah kamar Mba Hana. Dan saya pun pergi setelah ada isyarat mengiyakan. Malam ini sesi telah berakhir, kami sempatkan bertemu kembali di lobi hotel. Sengaja kami memilih di sofa warna lembut, agak terpisah dari sofa-sofa lain karena letaknya di pojok. Harumnya tiga kelopak bunga mawar kecil yang terpasang di meja persis di hadapan kami menghampiri dengan lembut.
"Mba kemarin asyik banget berteleponnya. Dari suami ya." Tanyaku kepo mengawali pembicaraan. "Bukan Mba, itu yang telepon tadi adalah teman. Namanya Pak Bagus, beliau satu sekolah, wakasek humas di sekolah. Ada masalah sedikit di sekolah jadi dia telp." Jawab Mba Hana, sang kepala sekolah di tempat Pak Bagus mengajar. "Halah... masalah apa masalah." Lanjutku mengorek. "Sebenarnya bukan sekadar masalah sekolah, tapi masalah hati." Mba Hana akhirnya mengaku. "Tuh... betul kan perasaanku, makanya sengaja saya tinggalkan tadi karena saya tidak ingin mengganggu. Memang sejak kenal dengan Pak Bagus, Mba Hana merasa ada teman. Karena Pak Bagus adalah sosok idola yang Mba Hana Idam-idamkan.
Pak Bagus dan Mba Hana cocok. Namun mereka membungkus pertemanan dengan sangat rapi, sehingga semua guru-guru di sekolah tersebut tidak mengetahui kalau antara kepala sekolah dengan wakasek humas teman dekat. Semua komunikasi yang kasat mata tampak profesional, sebagai layaknya antara kepala sekolah dengan wakaseknya. Semua tampak biasa saja didepan umum "Mba, Pak Bagus mengerti aku, beliau perhatian, memang sering saya curhat sama dia. Apa salah mba? Aku masih butuh teman yang mengerti. Memang beliau juga sudah punya istri. Lega rasanya kalau saya menumpahkan beban sama beliau." Lanjut Mba Hana dengan bangga. "Memang tidak ada tempat curhat lain? Suami Mba Hana, misalnya" sambungku dengan setengah tidak setuju dengan tingkahnya. "Mba, sejak berumah tangga, komunikasi kami hambar. Komunikasi simbolisme, aku menyebutnya. Komunikasi yang tidak pernah lebih dari dua atau tiga kata, sebatas menanyakan keadaan anak-anak, misalnya. Itu semua aku biarkan. Suamiku adalah sosok yang sangat berharga bagi pengembangan karierku. Tapi semenjak saya jadi kepala sekolah, beberapa bulan setelah itu, suami pensiun, komunikasi kami semakin susah. Tanpa alasan suami selalu menghindar.
"Mba Hana mulai menjelaskan dengan wajah sedih, dan terlihat air matanya menetes. "Mba aku bukan patung yang tidak perlu sentuhan atau sapaan. Tanpa masalah, tanpa alasan suamiku meminta izin untuk pergi... pergi entah ke mana. Katanya akan mengaji ke pondok pesantren. Suami macam mana yang akan meninggalkan istri. Namun saya tetap bertahan. Hanya cara berkomunikasi dengan Pak Bagus, sebagai tempat pelampiasan" Lanjut Mba Hana dengan wajah sedih. Saya masih menjadi pendengar, meski mataku semakin tidak kompromi. Maklum jam sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB. Saya masih menampung tumpahan beban sahabatku. Hingga dia cerita kalau mereka sudah lama tidur sendiri, karena suami tidak mau diganggu. Mereka tidak pernah bertengkar, rumah tangga berjalan apa adanya.
Tapi ada rasa yang tak terbalaskan, ada rasa yang tak terbuktikan, Mba Hana ingin keromantisan. Ya meski ia dapatkan dari yang lain. Meski dia sadar itu dosa. Sesuatu yang tidak selayaknya terjadi, mestinya. Hingga pada hari terakhir, kami berpisah. Beberapa bulan setelah pertemuan di kegiatan workshop saya pulang kampung halaman untuk berlebaran. Kampung saya denga Mba Hana memang berdekatan. Melalui tayangan televisi lokal saya mendengar berita kalau seorang suami bunuh diri. Dari alamat yang diberitakan saya kenal betul kalau itu adalah alamat Mba Hana. Suami Mba Hana memilih dengan cara sepihak mengakhiri hidupnya. Tragis. Inalilahi wa innailaihi rojiun.
3. Contoh Cerpen tentang Kehidupan Ketiga
Ilustrasi Motor Jadul. Foto: pexels.com/An Mai
Motor Butut Kesayangan Eyang
Karya : Aflahchintya Azka
“Eyang..., Eyang...!” Aku berteriak kegirangan, saat kulihat dari ujung gang, motor Eyang terparkir manis di depan rumahku. Aku sangat senang Eyang ke rumah, pasti aku dibawakan buah juwet kesukaanku. Rumah Eyang di kampung, halamannya luas, ditanami beragam buah dan bunga. Salah satu buah kesukaanku adalah juwet. Warnanya hitam mirip buah anggur. Rasanya manis dan sedikit asam. Eyang kakung dan Eyang putriku adalah seorang guru. Sudah dua tahun ini Eyang kakung pensiun, makanya beliau sering berkunjung ke rumahku.
Aku sudah berpesan pada Eyang, kalau ke rumah untuk selalu membawakanku buah juwet, aku pasti sangat senang. Tapi aku paling sebel dengan motor bututnya. Selain jelek, suaranya tidak enak didengar. Langkahku semakin kupercepat agar segera bisa bertemu Eyang dan tentu untuk segera menikmati buah kesukaanku. Siang-siang sepulang sekolah begini, menikmati buah juwet adalah kegemaranku sejak kecil. “Assalamu’alaikum...!” Sengaja aku keraskan suaraku agar Eyang kaget, namun tidak ada jawaban. Aku bergegas ke dapur, mencari buah juwet ke seluruh penjuru dapur. Tidak ada buah juwet. Aku kecewa. “Wa’alaikum salam,” sahut Eyang tiba-tiba dari belakang rumah. “Mana buah juwet-nya, Eyang!” tanyaku sambil cemberut. “Kok tanya buah juwet dulu, ndak tanya kabar Eyang, atau kapan Eyang datang?”
“Iya deh, bagaimana kabar Eyang, kapan Eyang datang?” “Baik, Eyang datang sebelum Mama dan Papa kamu ke kantor!” jawab Eyang sambil menghabiskan kopi dingin yang mungkin dibuat Mama tadi pagi. “Teruuus, mana buah juwet-nya?” tanyaku penasaran. “Ndak bawa...,” jawab Eyang sekenanya. “Tapi kamu jangan marah, jangan cemberut dan jangan kecewa, karena Eyang ke sini untuk menjemput kamu. Mulai besok kan kamu libur sekolah, Eyang akan ajak kamu untuk panen juwet di rumah Eyang. Selama satu minggu di rumah Eyang, kamu bisa setiap hari makan buah juwet!” “Asyiiik..., liburan di rumah Eyang!” sahut Mama dan Papa dari balik pintu. Saking sebelnya sampai-sampai aku tidak dengar kapan mereka datang. “Tapi ingat, makan buah juwet-nya jangan kebanyakan, nanti kamu bisa diare!!!” goda Papa sambil menaruh tas di atas meja.
“Eyang sangat sayang pada motor ini. Selain kenangan-kenangan yang sudah Eyang ceritakan kepadamu, motor itu adalah hadiah almarhum Ayah Eyang. Hadiah karena Eyang lulus SMA dengan nilai tertinggi. Dengan motor inilah Eyang mewujudkan cita-cita Eyang untuk menjadi guru,” Eyang menghentikan ceritanya. Ia memandang ke kejauhan, “Dulu motor itu Eyang gunakan untuk ojek. Hasilnya untuk biaya sekolah Eyang di Perguruan Tinggi. Hingga lulus dan kemudian Eyang mengajar. Dengan motor itu Eyang pergi ke daerah-daerah terpencil yang tidak bisa dilalui mobil,” jelas Eyang panjang lebar. “Nah Azka, sekarang kamu sudah tahu. Bahwa selain kenangannya, motor ini juga peninggalan Ayah Eyang yang harus Eyang jaga.
”Sudah lama aku dan Eyang berada di air terjun. Aku terus mendengarkan cerita Eyang tentang sejarah motor bututnya. Setelah Eyang puas dengan ceritanya, kami beranjak pulang. Sepanjang perjalanan pulang, kami hanya terdiam dengan lamunan masing-masing. Sampai di rumah aku mandi, shalat, dan makan malam. Kemudian membaringkan tubuh di kursi tua, di depan TV. Jalan-jalan yang seru membuatku lelah. Hingga tak terasa aku terlelap sampai keesokan harinya.
Aku terperanjat di pagi buta. Suara ribut tante, membangunkan aku dari mimpi. Aku berusaha mencari tahu apa yang diributkan. Aku cari-cari Eyang di kamarnya, tapi sudah tidak ada. Aku menuju dapur berharap ada Eyang putri, namun nihil. “Mungkin Bapak lupa tidak mengunci pagar semalam!” suara tante terdengar di samping rumah. Suaranya cukup keras. Aku bergegas mencari mereka. Rupanya semua sudah ada di sana. Eyang kakung tertegun di depan garasi. Sambil menahan penasaran, aku hampiri Eyang. “Ada apa Eyang?” tanyaku sangat pelan. “Motor kesayangan Eyang dicuri orang.”
4. Contoh Cerpen tentang Kehidupan Keempat
Sahabat dari Senja
Karya : Pandan Raditya
Sore mulai gelap. Cahaya senja di langit mulai mengubah warna. Terlihat burung-burung Sriti berterbangan. Seperti ingin melepas kegelisahan. Terbang berputar-putar sambil bercericit melintas di langit, dan berlalu-lalang di atas rumahku. Persis seperti hari-hari sebelumnya. Serasa memberi petunjuk, bila sesuatu yang misterius akan kembali terjadi. Dari halaman rumah aku terus menatap langit. Dadaku mulai berdebar. Kegelisahan mulai mengisi pikiran dan perasaanku. “Suara itu, tentu akan datang lagi sore ini. Mungkin akan sama persis dengan kejadian sore-sore sebelumnya,” kataku dalam hati, sambil terus menatap wajah senja.
Benar adanya. Tidak berapa lama, suara misterius itu, kembali menghantuiku. Kali ini terdengar seperti suara anak yang terluka. Lalu, mirip jeritan histeris, dan tak berapa lama berganti suara. Terdengar seperti anak yang kesakitan. Aku tercekam lagi. Pernah, suatu waktu Bunda memberi penjelasan saat kami duduk santai di teras rumah. Katanya, suara misterius yang selalu muncul di sore gelap itu, kemungkinan suara ternak Pak Kades. Atau bisa juga bunyi benturan batu yang berasal dari tebing-tebing pegunungan yang mengelilingi desa.
Begitu pula Ayah, sambil meletakkan korannya, lalu mengiyakan pendapat Bunda. Tanpa mau lagi menjelaskan lebih jauh tentang datangnya suara tersebut. Tetapi aku sangat yakin, jika itu bukan suara hewan ternak atau benturan batu di tebing sebelah desaku. Aku lebih yakin suara itu adalah suara jeritan seorang anak seusiaku. Tapi entahlah! Yang pasti, setiap senja tiba, suara itu seolah adalah sahabat setia telinga dan debar jantungku hingga menjelang gelap malam. “Aaaaahh..., Aaaah..., aaarrggh…,” begitu jerit pekik suara itu. Bahkan dalam waktu tidak berapa lama, muncul suara mirip benturan benda-benda pada papan kayu. Suara itu terdengar sangat jelas. Muncul tidak sekali, dua kali. Terus menghantuiku.
Tiap hari. Tiap sore, hingga hari menjadi gelap. Entah kenapa, sore yang menakutkan itu, seolah hanya aku yang merasakan. Sedang warga desa, bahkan Ayah dan Bunda pun seolah tak mengalami apa-apa. Hal itulah yang semakin membuatku gelisah. Kenapa hanya aku? Benarkah orang lain tidak mendengarnya? Mereka seolah ingin merahasiakan tentang suara itu. Suatu waktu aku mencoba mencari tahu ke beberapa tetangga. Rasa penasaran masih terus mengusikku. Kucoba mencari tahu dari Pak Yitno, pengasuh ternaknya Pak Kades.
Tiba-tiba saja dengan gemuruh, semua orang berbondong-bondong keluar ruangan dan memintaku untuk menunjukkan tempat anak yang terkurung digubuk itu. Mereka juga ingin menolong anak itu. Aku berjalan paling depan untuk menunjukkan lokasinya. Saat melewati desaku, semua warga desa jadi geger. Begitu pula Pak Sidik.Tampak tergopoh-gopoh. “Inilah tempatnya anak itu. Tentunya juga masih berada di dalam gubuk ini.” Kubuka pintu gudang itu. Semua orang terperangah. Tanpa dikomando, orang-orang spontan langsung membebaskan ikatan rantai dan tali pada tangan dan kaki anak lelaki yang malang itu. Tiba-tiba, Pak Sidik dengan beberapa perangkat desa datang dengan wajah tegang.
“Ada apa ini Bapak-Bapak. Kenapa datang ke tempat ini beramai-ramai tanpa memberitahu Kantor Desa?” tanya Pak Sidik pada rombongan yang bersamaku.
“Siapa yang mengurung anak ini?” tanya balik ketua juri pidato itu pada pak Sidik. Pak Sidik terdiam. Lalu melirik ke arahku yang bersebelahan dengan Anita. “Apa tidak ada yang tahu? Dan Bapak sebagai Kepala Desa sungguh aneh kalau tidak tahu ada warganya yang dikurung di gubuk ini?” tanyanya lagi. Akhirnya Pak Sidik yang merasa terpojok, mengakui perbuatannya. Dialah, yang menjadi dalang di balik semua ini. Ia merasa malu memiliki anak yang dianggapnya tidak normal. Pak Sidik juga meminta maaf pada Anita kalau selama ini berbohong, dan telah mengurung anak yang sebenarnya adalah kakaknya. Anita menangis seketika. Begitu juga Ayah dan Bunda. Mereka meminta maaf padaku karena telah membohongiku. Semua jelas sekarang. Tentu yang lebih menggembirakan, hari itu, aku menemukan seorang sahabat. Sahabat baru. Sahabat yang kutemui kala senja. Sahabat dari senja.
Itulah cerpen tentang kehidupan terbaru yang bisa kamu baca, semoga bisa menjadi salah satu referensi saat kamu ingin membuat sebuah tugas dari sekolah.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman Celebrities.id dengan judul " 4 Contoh Cerpen tentang Kehidupan Singkat dan Mudah Diingat "
Editor : Muri Setiawan