Tujuh Rumusan untuk Masa Depan Lingkungan Bangka Belitung, Hasil Ngupi Bekisah Ala Anak Muda

Ramsyah Al Akhab
Pemuda dari berbagai latar belakang dan komunitas mengikuti diskusi Ngupi Bekisah bertema “Ketika Alam Bicara, Suara Anak Muda Menjadi Harapan, Gerakan Literasi untuk Lingkungan Berkelanjutan di Masa Depan Bangka Belitung”. Foto : ist

BANGKA, Lintasbabel.iNews.id - Puluhan pemuda dari berbagai latar belakang dan komunitas mengikuti diskusi Ngupi Bekisah bertema “Ketika Alam Bicara, Suara Anak Muda Menjadi Harapan, Gerakan Literasi untuk Lingkungan Berkelanjutan di Masa Depan Bangka Belitung” yang digelar di Kantin Pahlawan, Sungailiat, pada 27 Desember 2025. 

Kegiatan ini menjadi ruang temu gagasan untuk membaca persoalan lingkungan Bangka Belitung secara lebih mendalam dan berkelanjutan.

Kegiatan ini merupakan inisiasi bersama dari Komunitas Aksara Muda Bangka Belitung (Kosada Babel), Green Leadersid dan Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara Institut Pahlawan 12. 

Diskusi menghadirkan Fitri (FKPDAS Babel, Regi (WALHI Babel), dan Zamzami (Ketua KNPI Babel) sebagai narasumber. Berbagai isu dibahas, mulai dari kerusakan akibat tambang, pesisir dan DAS, hingga lemahnya kesadaran ekologis dalam kebijakan dan kehidupan sosial.

Forum ini menempatkan literasi lingkungan sebagai kunci perubahan, tidak hanya dalam arti pengetahuan, tetapi juga sebagai kesadaran etis, kultural, dan kolektif. Pendidikan, agama, adat, pemerintah, serta komunitas dipandang memiliki peran saling terkait dalam upaya pemulihan lingkungan.

Sebagai hasil diskusi, Ngupi Bekisah merumuskan tujuh poin utama yang merupakan rangkuman pemikiran bersama peserta dan narasumber. 

Rumusan ini menegaskan bahwa pemulihan lingkungan Bangka Belitung harus dipahami sebagai proses jangka panjang yang melibatkan perubahan cara pandang, sistem, dan praktik sosial secara menyeluruh.

Berikut tujuh rumusan hasil diskusi Ngupi Bekisah:

1. Perubahan Paradigma: Dari Eksploitasi ke Etika Ekologis Kolektif.

Fondasi perbaikan lingkungan Bangka Belitung adalah perubahan paradigma: dari alam sebagai objek ekonomi menjadi alam sebagai ruang hidup, amanah moral, dan entitas yang memiliki nilai intrinsik.

Selama alam dipahami semata sebagai sumber komoditas (timah, pasir, ruang industri), kerusakan akan terus direproduksi. Karena itu, pemulihan ekologis harus berjalan beriringan dengan rekonstruksi etika sosial, yakni membangun kesadaran bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab kolektif lintas generasi.

2. Pemerintah: Arsitek Sistem, Bukan Aktor Tunggal.

Dalam pendekatan sistematis, pemerintah berperan sebagai perancang dan penjaga sistem, bukan pelaksana tunggal.

Langkah kunci meliputi:

Transparansi data AMDAL dan uang jaminan Reklamasi. Audit ekologis menyeluruh terhadap kerusakan alam, lubang tambang, pesisir, DAS, dan lainnya. Penegakan hukum lingkungan yang tegas dan konsisten. Moratorium selektif tambang di wilayah ekologis kritis.

3. Pendidikan: Membentuk Kesadaran Ekologis Sejak Dini.

Pendidikan adalah instrumen jangka panjang paling strategis. Di Bangka Belitung, pendidikan lingkungan seharusnya: Kontekstual, berbasis realitas lokal (tambang, pesisir, mangrove). Mengajarkan relasi sosial-lingkungan, bukan hanya sains alam. Menghubungkan pengetahuan dengan tanggung jawab moral.

Sekolah dan kampus perlu menjadi ruang pembacaan ulang relasi manusia-alam, melalui: Kurikulum lokal lingkungan Babel. Proyek berbasis komunitas (adopsi mangrove, pemetaan lubang tambang). Kolaborasi dengan masyarakat adat dan nelayan. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan, tetapi membentuk sikap ekologis.

4. Agamawan dan Institusi Keagamaan: Lingkungan sebagai Amanah Ilahiah

Dalam masyarakat Bangka Belitung yang religius, institusi agama memiliki otoritas moral yang sangat besar.

Agamawan dapat: Menegaskan bahwa perusakan lingkungan adalah fasad fil ardh (kerusakan di muka bumi). Menyampaikan bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah sosial. Menghidupkan kembali konsep khalifah, mizan (keseimbangan), dan tanggung jawab antargenerasi.

Rumah ibadah dapat menjadi pusat: Edukasi ekologis berbasis nilai. Gerakan tanam pohon dan bersih lingkungan. Konsolidasi moral melawan praktik perusakan. Dengan demikian, agama tidak hanya menjadi ruang ritual, tetapi sumber etika ekologis publik.

5. Pantang-Larang / Panteng Lareng: Penjagaan Adat dan Mistis sebagai Instrumen Sosial-Ekologis

Pantang-larang bukan sekadar kepercayaan irasional, melainkan mekanisme sosial-kultural tradisional yang berfungsi mengatur relasi manusia dengan alam melalui: larangan sakral; sanksi sosial dan moral; dan ketakutan simbolik yang membentuk kepatuhan.

Dalam konteks Bangka Belitung, pantang-larang dapat dihidupkan kembali dan diadaptasi sebagai instrumen konservasi berbasis budaya, dengan prinsip: Dipimpin komunitas adat dan tokoh lokal. Tidak diskriminatif dan tidak melanggar HAM. Bersinergi dengan hukum formal dan ilmu pengetahuan.

Pantang-larang memberi makna simbolik dan spiritual pada pelestarian lingkungan, sehingga kepatuhan tidak hanya berbasis takut sanksi hukum, tetapi juga rasa bersalah, malu, dan tanggung jawab kosmologis. Dengan integrasi ini, konservasi tidak lagi terasa “asing” atau “dipaksakan”, melainkan berakar pada identitas lokal.

6. Masyarakat dan Komunitas Lokal: Dari Objek menjadi Subjek Pemulihan. 

Masyarakat Bangka Belitung tidak boleh terus ditempatkan sebagai korban atau penonton. Pemulihan harus: Mengakui hak kelola masyarakat atas ruang hidupnya. Mendorong ekonomi alternatif non-tambang. Memperkuat kapasitas komunitas sebagai penjaga ekosistem.

Ketika masyarakat diberi peran, pengetahuan, dan manfaat nyata, mereka menjadi pelindung lingkungan paling efektif.

7. Menuju Pemulihan sebagai Proses Peradaban

Perbaikan kerusakan lingkungan Bangka Belitung bukan sekadar proyek reklamasi atau penutupan lubang tambang. Ia adalah proses peradaban—rekonstruksi cara berpikir, cara hidup, dan cara memaknai alam.

Pendekatan sistematis yang melibatkan: pemerintah (hukum dan kebijakan); pendidikan (pengetahuan); agama (etika); adat dan pantang-larang (makna dan disiplin sosial); dan komunitas (praktik nyata), akan menciptakan ketahanan ekologis dan sosial jangka panjang.

Alam tidak hanya “dipulihkan”, tetapi dikembalikan ke dalam kesadaran kolektif sebagai bagian dari kehidupan bersama.

Editor : Haryanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network