22 Tahun Bangka Belitung: Hutanku Tak Lagi Hijau, Lautku Sudah Tak Biru

Jurnalis Warga
Arie Hidayat, Sekretaris Bidang PAO HMI Cabang Bangka Beitung Raya. Foto: istimewa

PROVINSI Kepulauan Bangka Belitung (Babel), merupakan provinsi ke-31 yang disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan UU No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan ibukota terletak di Kota Pangkalpinang yang sebelumnya tergabung dalam wilayah Sumatera Selatan.

Terletak 104°50’ sampai 109°30’ bujur timur dan 0°50’ sampai 4°10’ lintang selatan, ditambah luas wilayah laut dan daratan mencapai 81.725,14 km2, dengan luas daratan mencapai 16.424,14 km2, dan laut 65.301 km2, artinya potensi wilayah kelautan sangat besar ketimbang pemanfaatan lahan di wilayah daratan.

Dilansir dari www.babelprov.go.id penduduk Provinsi Kepulauan Babel dihuni oleh orang-orang Suku Laut, Malaka, Riau Kepulauan, Sulawesi, Kalimantan, Suku Bugis, ditambah lagi dengan kedatangan orang-orang Minangkabau, Jawa, Banjar, Kepulauan Bawean, Aceh, dan beberapa suku lainnya yang lebih dulu melebur menjadi generasi baru masyarakat melayu Bangka Belitung, yang dipersatukan melalui bahasa Melayu.

Selain itu, adanya bahasa Mandarin dan bahasa Jawa turut melebur dalam wilayah ini.

Jumlah total penduduk di Provinsi Babel berkisar 1.517.590 jiwa, dilansir dari babel.bps.go.id pada tahun 2020. Mata pencaharian penduduk Babel menyebar di berbagai lini, diantaranya sektor pertanian dan perkebunan, kelautan dan perikanan, pariwisata, industri pengolahan, dan sektor pertambangan.

Pemanfaatan seluruh lini kehidupan seharusnya maksimal selaras dengan pembangunan sumber daya manusia sehingga terjadinya optimalisasi dalam membangun kemajuan.

Kini penulis menawarkan para pembaca untuk sama-sama merefleksikan diri terhadap kondisi yang sedang terjadi di Negeri Serumpun Sebalai menjelang peringatan hari lahir pada 21 November 2022. Ada apa?

Selama 20 tahun terakhir, dilansir dari mongabay.co.id, Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan mangrove sekitar 240.467,98 hektar hutan mangrove, atau tersisa 33.224,83 hektar. Kemudian, apa masalahnya? Masalah terbesar baru akan kita ungkap.

Pada tahun 2016 dilakukan penelitian oleh tim Fakultas Kehutanan UGM dengan judul “Karakteristik Mangrove di Sekitar Pertambangan Timah Lepas Pantai Kabupaten Selatan”  dengan tambahan data oleh Dinas Kehutanan Kepulauan Bangka Belitung. Data tersebut menjjelaskan luasan hutan mangrove di Babel mencapai 273.692,81 hektar. Tersebar di Kabupaten Bangka (38.957,14 hektar), Bangka Barat (48.529,43 hektar), Bangka Selatan (58.165,04 hektar), Bangka  Tengah (19.150,86 hektar), Belitung (65.658,06 hektar), dan Belitung Timur (43.232,28 hektar).

Kemudian laporan yang sama 2016 didapatkan data luasan hutan mangrove sekitar 204.467,29 hektar mengalami kerusakan, dengan keterangan 117.229,29 hektar lahan rusak berat dan seluas 87.238,69 hektar rusak sedang. Penyebabnya  tak lain adalah penambangan liar (Tambang Inkonvensional), tambak udang skala besar, perkebunan monokultur skala besar, serta pembangunan infrastruktur.

Mirisnya, Perda No. 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) menjelaskan rencana pemanfaatan pesisir guna dijadikan sektor perekonomian dengan fokus penambakan. Hal lain juga perlu diperhatikan apabila wilayah mangrove ditetapkan sebagai kawasan pariwisata, kemungkinan terburuknya adalah menumpuknya sampah dan limbah.

Jika solusinya tetap mengarah pada tambak dan pariwisata, yang mesti dilakukan ialah tetap mempertahankan nuansa alaminya dengan metode pakan alami serta pengembangan ekonomi dari hasil mangrove itu sendiri seperti obat-obatan, madu dan lain sebagainya.

Dalam mendukung Komitmen Iklim, pemerintah Indonesia menjanjikan untuk mengurangi emisi dalam negeri sekitar 29% sampai tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41%, dengan bantuan dukungan internasional melalui pendanaan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas. Pemanfaatan lahan mangrove dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sangat besar potensinya.

Dilansir dari komitmeniklim.id, mangrove dalam upaya mitigasi krisis iklim mampu menyerap dan menyimpan karbon 3-5 kali lebih banyak dari hutan hujan tropis dengan luasan yang sama. Selain itu, mangrove mempunyai kemampuan daya tahan terhadap kenaikan permukaan laut tingkat sedang. Ketahanan alami dari tanaman mangrove dalam menghadapi fluktuasi pasang surut air laut dapat melindungi garis pantai akibat abrasi.

Disisi lain, mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar guna menjamin kualitas udara bersih, mangrove juga memiliki kemampuan untuk menjaga kualitas air karena jaringan akar yang padat dan vegetasi sekitar mampu menyaring sedimen dan logam berat serta polutan lainnya dari kontaminasi saluran hilir dalam melindungi habitat sensitif seperti terumbu karang dan padang lamun.

Masyarakat Suku Laut hidup dan dihidupi oleh mangrove karena kawasan tersebut menyediakan sumber pakan, papan, air bersih, habitat biota laut, serta melindungi pemukiman dari badai dan ombak.

Salah satu upaya yang nampak adalah melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang saat ini sedang mengupayakan Percepatan Rehabilitasi Mangrove seluas 80.762 hektar di Bangka Belitung. Kepedulian akan mangrove mesti digaungkan, pasalnya ada banyak dampak positif dari keberadaan tumbuhan tersebut.

Apakah saat ini kita sudah sadar akan peran pentingnya hutan mangrove dalam menjaga stabilitas iklim dunia?

Terlalu jauh sebenarnya berbicara demikian, namun faktanya menjadi jelas ketika kita bersama-sama membuka mata. Memasuki 22 tahun berdirinya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kini yang tersaji hanyalah kerusakan. Hutan tak lagi hijau akibat pengrusakan, laut pun sudah tak biru karena tercemar. Di sektor manapun, hanya ada dampak buruk pasca kebijakan.

Mari berbenah membangun kualitas iklim serta wilayah lain menuju lebih baik melalui pemanfaatan hutan mangrove. Peranan masyarakat adat yang lebih dulu menempati wilayah tersebut mesti didukung penuh. Eksploitasi lahan apapun bentuknya adalah salah satu wujud pembungkaman yang nyata.

Maka dari itu, langkah awal dalam mendukung Komitmen Iklim ialah tetap melestarikan perilaku tradisional dalam menjaga hutan, salah satunya ialah pelestarian hutan mangrove.

Selamat Hari Jadi Provinsi Bangka Belitung ke-22 tahun. Hijau Biru Bangka Belitungku.

 

Artikel ini ditulis oleh: Arie Hidayat (Sekretaris Bidang PAO HMI Cabang Bangka Beitung Raya).

 

Editor : Muri Setiawan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network