PANGKALPINANG, lintasbabel.id -Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pangkalpinang menggelar Webinar Krisis Iklim bertemakan "Degradasi Lingkungan dan Peran Media pada Isu Perubahan Iklim Kepulauan Bangka Belitung". Puluhan jurnalis, mahasiswa dan aktivis telah mendaftar untuk berpartisipasi.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh AJI Pangkalpinang bermitra dengan Google News Initiative (GNI) merupakan rangkaian dari Webinar yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan tema besar “Krisis Iklim, Misinformasi dan Peran Media".
Di Bangka Belitung, AJI Pangkalpinang menghadirkan narasumber dari Koordinator Badan Meteorologi dan Klimatologi Pangkalpinang, Tri Bagus Pramono dan Albana, Jurnalis Senior di Babel.
Diskusi daring ini akan digelar pada Senin, 23 Mei 2022, Pukul: 15.00-selesai menggunakan platform Zoom Meeting.
Saat ini pendaftaran masih dibuka, dengan mengunjungi link: bit.ly/DegradasiLingkungan.
Ketua AJI Kota Pangkalpinang, Barliyanto mengatakan tujuan digelarnya webinar ini untuk meningkatkan literasi dan kesadaran tentang perubahan iklim.
"Kita ingin memberikan inspirasi tentang hal-hal yang bisa dilakukan sehari-hari untuk
mengurangi laju dan dampak perubahan iklim," kata Barliyanto.
Selain itu, dalam perspektif pers, AJI Kota Pangkalpinang menyasar pada peningkatan peran serta media dalam menangkal misinformasi terkait perubahan iklim
"Memetakan kendala-kendala jurnalis dan media lokal untuk melaporkan isu krisis iklim. Memetakan peredaran misinformasi tentang krisis iklim di daerah," kata dia.
Mengapa kegiatan ini penting, Laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang diluncurkan Februari 2022 lalu menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim sudah terjadi dan harus segera melakukan adaptasi. Suhu Bumi dipastikan bakal bertambah melewati ambang batas 1,5 derajat celcius pada 2030, bahkan saat ini, peningkatan suhu global sudah mencapai 1,1 derajat celcius.
Pemanasan global itu membuat Bumi mendekati ambang batas untuk mendukung kehidupan manusia. Bahkan, beberapa bagian planet ini kini tidak lagi dapat ditinggali. Suhu sudah menjadi terlalu panas, bencana menjadi terlalu parah, permukaan laut terus meninggi, dan biaya untuk tetap tinggal menjadi terlalu mahal sehingga bakal memicu migrasi besar-besaran.
Namun demikian, sebagian masyarakat belum sepenuhnya mendukung konsensus ilmuwan mengenai perubahan iklim ini, dan Indonesia menempati peringkat pertama yang menyangkal bahwa perubahan iklim disebabkan ulah manusia.
"Meskipun persoalan perubahan iklim nyata dan kerap diserukan para ilmuwan, namun tidak semua orang di planet bumi ini percaya bahwa perubahan iklim itu nyata. Di Indonesia, pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim juga masih lemah, bahkan tidak sedikit yang percaya bahwa isu perubahan iklim hoaks," kata Barlyanto.
Hal ini berimplikasi pada absennya peran untuk turut memitigasi ataupun beradaptasi terhadap perubahan yang sudah terjadi.
"Sebagaimana yang terjadi dengan penanganan pandemi Covid-19, media massa seharusnya bisa berperan dalam membangun literasi publik terkait perubahan iklim. Selain menangkal misinformasi, media juga bisa melakukan peliputan kritis guna mengawal berbagai upaya dalam mitigasi dan adaptasi terkait iklim," katanya.
Editor : Muri Setiawan