Antara Harapan dan Kenyataan, Perlukan KPID Dipertahankan?

OPINI : Muhammad Yusuf(Anggota Bidang Pengembangan Profesi dan Pasrtisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Babel Raya)
PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Lembaga ini memiliki mandat untuk mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan penyiaran di Indonesia baik melalui media televisi maupun radio. KPI bertanggung jawab memastikan bahwa isi siaran tidak hanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai etika, norma sosial, serta kepentingan publik secara luas.
Di tingkat daerah, fungsi dan peran KPI dijalankan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Salah satunya adalah KPID Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang memiliki kewajiban dan kewenangan untuk menjalankan fungsi pengawasan siaran secara lokal. Keberadaan KPID sangat penting dalam menjaga agar tayangan-tayangan yang hadir di ruang publik tidak mengabaikan prinsip-prinsip moral, etika jurnalistik, serta perlindungan terhadap kelompok rentan, seperti anak-anak dan remaja.
Saat ini, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tengah membuka pendaftaran calon anggota KPID periode berikutnya. Namun, proses ini seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai ritual administrasi atau sekadar pergantian posisi. Sebaliknya, ini merupakan momentum krusial untuk mengevaluasi kinerja KPID secara menyeluruh. Sebuah lembaga publik yang dibiayai oleh negara sudah semestinya rutin dievaluasi berdasarkan capaian konkret dan dampaknya terhadap masyarakat.
Evaluasi terhadap KPID Babel perlu difokuskan pada empat hal penting. Pertama, efektivitas pengawasan isi siaran. Apakah KPID benar-benar aktif memantau konten siaran dan menindak tegas setiap bentuk pelanggaran, baik yang bersifat etis maupun hokum.Kedua, konsistensi dan keberanian dalam menjatuhkan sanksi. Jangan sampai lembaga ini hanya memberi imbauan tanpa tindak lanjut yang tegas, sehingga membuat pelanggaran terus berulang tanpa efek jera.Ketiga, kemampuan KPID dalam memberikan edukasi dan literasi media kepada publik. Hal ini sangat penting untuk membangun kesadaran masyarakat dalam memilah dan memahami isi siaran, terutama di era banjir informasi seperti sekarang. Dalam hal ini, KPID harusnya menjalankan amanat dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yang menekankan perlindungan terhadap anak-anak dari tayangan negatif serta pentingnya konten yang mendidik. Keempat, bagaimana kinerja KPID dalam menjalin sinergi dan kolaborasi dengan pemerintah daerah, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, dan pelaku industri penyiaran.
Sayangnya, jika kita jujur melihat realitas di lapangan, keempat indikator tersebut belum tercermin dalam kinerja KPID Bangka Belitung. Pengawasan terhadap siaran masih bersifat reaktif dan tidak sistematis. Banyak konten yang melanggar nilai-nilai kesopanan atau merugikan publik tetap tayang tanpa sanksi atau klarifikasi. Literasi media masih menjadi istilah kosong tanpa program nyata yang menjangkau masyarakat akar rumput, terutama di desa-desa atau wilayah pelosok.
Kerja sama antarlembaga juga tampak lemah. KPID seolah bekerja sendiri tanpa membangun ekosistem penyiaran yang sehat bersama para pemangku kepentingan lainnya. Padahal, penyiaran adalah ruang publik yang sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial, budaya, dan pendidikan. Ketika lembaga ini tertutup dan tidak kolaboratif, dampaknya bukan hanya pada buruknya kualitas siaran, tetapi juga hilangnya kepercayaan publik terhadap otoritas pengawas.
Melihat kondisi tersebut, semakin nyata bahwa KPID Bangka Belitung belum mampu menjalankan fungsinya secara maksimal. Dalam banyak kasus, lembaga ini justru lebih dipandang sebagai ajang perebutan jabatan semata, bukan sebagai penjaga etika penyiaran yang benar-benar berpihak pada publik. Alih-alih menjadi pengontrol ruang siaran, KPID justru terjebak dalam peran simbolis yang hanya hadir secara administratif tanpa kontribusi yang terasa nyata.
Oleh karena itu, momentum transisi ini harus benar-benar digunakan untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Proses seleksi anggota baru tidak boleh hanya menjadi formalitas. Yang dibutuhkan bukan sekadar orang baru, tapi semangat baru, cara kerja yang transparan, serta komitmen kuat untuk melindungi kepentingan masyarakat. Jika proses ini gagal menghasilkan perubahan yang substansial, maka publik berhak mempertanyakan apakah lembaga ini masih relevan untuk dipertahankan.
Jika dalam waktu ke depan KPID Bangka Belitung tetap tidak menunjukkan perbaikan nyata, baik dari sisi pengawasan, edukasi, maupun sinergi, maka sudah waktunya untuk mempertimbangkan pembubaran. Lebih baik anggaran publik dialihkan ke sektor lain yang memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Lembaga publik tidak boleh hanya hadir sebagai beban anggaran. Ia harus hadir sebagai solusi atau lebih baik tidak ada sama sekali.
Editor : Agus Wahyu Suprihartanto