PANGKALPINANG, lintasbabel.id - Sebagai pesepakbola wanita profesional, Nadia Nadim banyak dikenal dan cukup sukses berkarir di lapangan hijau. Berpaspor Denmark, ternyata dia memilik darah Afganistan.
Namun, dia memiliki pengalaman pahit di tanah kelahirannya. Ayah Nadia dibawa Taliban, lalu tidak pernah kembali lagi hingga sekarang.
Nadia lahir di Herat, Afghanistan, pada 2 Januari 1988. Dia merupakan anak dari Rabani Nadim dan Hamida. Nadia memiliki empat saudara perempuan.
Keluarga Nadia tinggal di suatu daerah bersama keluarga presiden, karena ayahnya punya peran penting dalam militer Afghanistan. Sekadar informasi, Rabani adalah seorang jenderal di Angkatan Darat Afghanistan saat itu.
Namun, kehidupan keluarga Nadia berubah saat Taliban berkuasa pada 2000. Ayah Nadia dibawa Taliban, lalu tidak pernah kembali lagi.
Saat itu, Nadia baru berumur 11 tahun. Dia pun berharap sang ayah kembali, tetapi harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan.
“Untuk waktu yang sangat lama, saya pikir dia akan muncul. Ayahku pria tipe, seperti James Bond. Seperti superhero,” kata Nadia pada SPORTbible, Kamis (19/8/2021).
Setelah itu, Nadia melihat sepak terjang Taliban di Afghanistan. Nadia menyebut masa itu sangatlah horror karena kekacauan terjadi di mana-mana.
“Itu benar-benar horor. Kekacauan. Anda mendengar cerita tentang mereka datang. Mereka ingin membawa ketakutan di antara penduduk. Hal-hal yang mereka lakukan gila. Saya tidak melihat semuanya karena kami tidak diizinkan keluar karena ibu saya berusaha melindungi kami, tapi Anda bisa mendengar apa yang sedang terjadi,” ujar Nadia.
Kekacauan tidak membuat ibu Nadia berhenti mencari sang suami yang dibawa Taliban. Pada akhirnya, Hamida pun tahu, bahwa Rabani sudah meninggal dunia.
“Seperti kebanyakan kediktatoran dalam sejarah umat manusia, jika anda ingin mempertahankan kekuasaan anda, anda harus menyingkirkan siapa pun yang memiliki kekuasaan," tuturnya.
"Ketika Taliban memperoleh kekuasaan, salah satu hal pertama yang mereka lakukan adalah memenggal kepala orang-orang tertinggi di pemerintahan dan ayah saya adalah salah satunya,” ucap Nadia.
Usai tahu sang suami meninggal dunia, ibu Nadia berusaha untuk membawa kelima anaknya pergi dari Afghanistan. Dia menjual semua aset keluarga mereka agar punya uang untuk melarikan diri dan memulai hidup baru.
"Saya tidak tahu bagaimana dia bisa terlibat dengan penyelundup manusia, tapi dia melakukannya. Jelas, pada titik ini, kami (Nadia dan keempat saudara perempuannya) tidak benar-benar terlibat dalam rencananya. Saya hanya seorang anak kecil. Dalam situasi seperti ini, saya tidak berpikir dia punya waktu untuk mengatakan 'Dengar, ini rencananya. pergi ke ini dan ini.’ Bukan seperti ini,” ucap Nadia.
Nadia dan keluarganya meninggalkan Afghanistan pada tengah malam. Mereka berkendara dengan mini van hingga melewati perbatasan Pakistan, lalu menetap selama dua bulan di Karachi untuk menunggu paspor.
Selanjutnya, Nadia dan keluarganya bertemu seorang pria yang membantu mereka agar bisa terbang ke Italia. Setelah sampai di Italia, keluarga Nadia pergi ke London, Inggris, dengan menaiki sebuah truk.
Namun, setelah berhari-hari dalam perjalanan, mereka justru turun di kamp pengungsian di Denmark. Meski tidak sesuai rencana, Nadia dan keluarganya bisa memulai hidup baru di Denmark.
“Itu (tiba di Denmark) tak terlalu penting. Yang penting adalah kami aman,” kata Nadia.
Kini, Nadia tengah menikmati karier sepakbolanya yang gemilang. Pada musim lalu, dia membantu Paris Saint-Germain (PSG) mengangkat trofi Divisi 1 untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka. Nadia mencetak 18 gol dalam 27 pertandingan PSG.
Selain PSG, Nadia juga pernah main untuk beberapa klub, seperti Manchester City, Portland Thorns, dan Fortuna Hjorring. Lalu, bersama Tim Nasional (Timnas) Denmark, Nadia sudah mencetak 32 gol dari 66 penampilan. Nadia pun meneruskan karier sepakbolanya dengan membela Racing Louisville FC yang berkiprah di National Women's Soccer League, Amerika Serikat.
Editor : Haryanto