Keduanya tumbuh besar beriringan dengan perkembangan tatanan masyarakat, melebur dalam sistem membangun keberlangsungan negeri. Sampai kini tak ada yang mampu meng-islahkan keduanya, DIPO dan MPO hidup dalam perbedaan kasta yang luar biasa. Ketimpangan itu lebih banyak terjadi di daerah-daerah, mengkotak-kotakan organisasi. Sama-sama patut diakui, di ranah KAHMI tak ada istilahnya MPO-DIPO, namun proses perkaderan jelas membuktikan. Anak haram Orba-bagi mereka yang menerima asas tunggal- tumbuh besar dengan kedayatahanan tanpa mengharap alumni untuk turun tangan.
Lucunya hari ini, menyorot satu wilayah para alumni yang tergabung dalam Institusi KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) berkomitmen untuk mengembalikan HMI kepada yang seharusnya. HMI yang baru saja datang (sebut saja MPO) harus kembali lagi ke HMI pada awalnya (di wilayah tersebut). Iming-iming yang sangat menggiurkan, ditawari posisi satu oleh lembaga bentukan HMI yang sudah seharusnya tak lagi menyoroti perbedaan keduanya tapi menjadi topik utama dalam setiap wacana. Namun, bukan itu yang harus ditawarkan kepada kader yang dengan segenap hati menghidupi organisasi, tapi ialah proses yang akan menentukan jati diri. Wajar jika yang duduk tak pernah selesai berkader, jadi masih senang mengintervensi kader. Masih kurang puaskah kanda-kanda ini ber-HMI?
KAHMI secara kelembagaan seharusnya menjadi panutan bagi lembaga lain yang setingkat dengannya. Secara individu para alumni sebaiknya tak lagi mengurusi internal HMI karena bukan masanya lagi. Tapi, mendorong kader yang sedang menikmati proses untuk tetap bertahan menjaga stabilitas organisasi. Begitulah hemat penulis menyikapi kondisi terkini.
Editor : Muri Setiawan