Hari Kesaktian Pancasila, Bukan Sekedar Duka Melainkan Simbol Kemerdekaan Ada di Tangan Rakyat
PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Oktober di Indonesia. Peringatan ini muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap Pancasila yang dianggap mampu menyelamatkan bangsa dari ancaman ideologi lain, khususnya komunisme yang berusaha menggantikan dasar negara.
Setelah peristiwa G30S, pada tahun 1966 pemerintah menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui Keputusan Presiden. Hari ini bukan sekadar peringatan duka, tetapi simbol keteguhan bangsa dalam mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia yang memiliki kedudukan fundamental dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai ideologi bangsa, Pancasila bukan hanya hasil pemikiran filosofis, tetapi juga refleksi dari nilai-nilai budaya, agama, dan tradisi masyarakat Indonesia yang beragam.
Penetapan Pancasila pada 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara menunjukkan konsensus politik seluruh elemen bangsa untuk menjadikannya fondasi kehidupan nasional.
Secara formal, bangsa Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Namun, kemerdekaan substantif—yakni kebebasan dari kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi—belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh rakyat.
Ungkapan “merdeka hanya pada mereka yang berkuasa” mencerminkan kritik terhadap realitas sosial, di mana kekuasaan, modal, dan jaringan politik masih menjadi penentu utama akses terhadap kesejahteraan.
Ungkapan “merdeka hanya pada mereka yang berkuasa” menjadi refleksi bahwa kemerdekaan substantif seringkali hanya dirasakan oleh segelintir elite politik, ekonomi, dan sosial. Bagi sebagian besar rakyat kecil, kemerdekaan masih terbatas: terbelenggu kemiskinan, tidak terlindungi secara hukum, serta tidak berdaya melawan kepentingan pemilik modal.
Di Bangka Belitung, misalnya, pengelolaan tambang timah yang merupakan salah satu sumber daya alam strategis lebih banyak dikuasai oleh pemilik modal dan elite politik.
Masyarakat lokal, terutama nelayan dan buruh tambang, justru mengalami keterpinggiran dan kerentanan sosial. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Editor : Haryanto