Perjuangan melawan aktivitas pertambangan di TKD sendiri, sudah dilakukan warga setempat dalam waktu hampir 10 tahun, baik melalui jalur penegakan hukum maupun desakan kebijakan pemerintah, yang mana perjuangan itu konsisten seperti perjuangan leluhur mereka terdahulu yang dikenal dengan tradisi ampak/menghilangkan timah.
"Penambangan di laut memiliki banyak dampak kerusakan yang parah, seperti tingkat kekeruhan air laut sangat tinggi dan endapan yang menyebabkan terancam hilangnya habitat laut dan kerusakan terumbu karang. Dampak utama dari operasi KIP adalah sedimentasi karena tailing langsung dibuang dari kapal isap menyebabkan ekosistem vital terumbu karang mati meratam karena tertutup sendimen," katanya.
Secara geografis, TKD memiliki luas 16,3 ribu hektar dan merupakan pesisir yang berbentuk teluk sempurna dengan arus dan gelombang kecil, maka konsekunsinya limbah zat kimia tersebut terdiaspora ke bagian lain dan cenderung hanya berputar diwilayah TKD.
Menurut penelitian yang dilakukan Jeanne darc Novianti Manik dengan judul “Kebijakan Pertambangan Laut Timah yang Berdampak Pada Lingkungan” Setiap hari 1 buah KIP mampu menghasilkan 2.700 m3 sampah sendimentasi.
"Dapat dibayangkan jika ada sekitaran 7 buah KIP beroprasi dapat membawa setidaknya 18.900 m3 sendimentasi per hari," ungkapnya.
Maka dari itu Undang-undang No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dalam Pasal 35 melarang melakukan penambangan yang dapat merusak ekosistem perairan dan merugikan masyarakat sekitarnya. Kemudian Keputusan Menteri dan Perikanan No. 33 Tahun 2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Penguahaan Pasir Laut melarang kegiatan pertambangan laut dalam zona perlindungan, kwasan pelestarian alama, dan taman nasional serta perairaan kurang dari atau sama 2 mil laut diukur dari garis pantai pada pasal 4 dan 5.
Editor : Muri Setiawan