ZAKAT sering mengalami penyempitan makna, yang dianggap sebagai perintah agama, untuk mengentaskan masalah kemiskinan. Padahal, dalam bingkai yang lebih luas, zakat adalah instrumen untuk pemerataan keadilan.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Utama lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LazisMu), Sabeth Abilawa.
Menurutnya, zakat ditinjau dari aspek perlindungan perempuan dan anak memiliki keterkaitan. Sebab zakat juga memiliki sisi pembelaan terhadap keadilan sosial.
“Maka isu perlindungan anak perempuan bisa dikaitkan dengan zakat. Sehingga spirit zakat itu bukan untuk mengentas kemiskinan, melainkan untuk membebaskan dari ketidakadilan. Isu keadilan sosial seharusnya ditanamkan ke lembaga filantropi,” ujarnya dalam Diskusi yang digelar oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan.
Sempitnya pemahaman umat Islam terhadap konsep dan tujuan zakat, akibat dari penafsiran yang jumud. Sabeth menyebut, tafsir zakat yang berkembang ditengah masyarakat terhadap golongan yang berhak menerima zakat atau asnaf. Menurutnya tafsir tersebut perlu ditinjau ulang, sehingga dapat memasukan varian baru secara kontekstual.
Sementara itu, Ketua PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah, menyadari bahwa selain merupakan ibadah sosial, zakat bisa menjadi jaring pengaman sosial bagi kelompok dhuafa dan mustadh’afin.
Namun realitas menunjukkan fakta yang sebaliknya, sebab masih banyak lembaga filantropi yang masih abai terhadap kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak.
“Namun faktanya, berdasarkan buku ‘Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak’ yang ditulis Yulianti Muthmainnah (2021), ditemukan data lembaga-lembaga filantropi di Indonesia belum memberikan perhatian serius pengalokasian dana zakat bagi para korban,” katanya melansir laman Muhammadiyah.
Padahal, menurut buku tersebut, para korban berhak menempati empat golong (asnaf) para penerima zakat sebagaimana yang termuat dalam QS at-Taubah ayat 60, sebagai ijtihad kontemporer dalam berzakat dan menjadi gerakan filantropi nasional. Pengkayaan pemahaman ini diharapkan menjadi kesadaran baru bagi semua pihak.
Banyak persoalan terhadap kelompok perempuan dan anak juga diaminkan oleh Komisioner Komnas Perempuan 2010-2019, Sri Nurherwati. Menurutnya, persoalan perempuan korban dalam mendapatkan keadilan lantaran minimnya akses layanan, baik itu layanan hukum, termasuk layanan kesehatan.
Menurutnya pendampingan yang telah dilakukan selama ini belum cukup, akibat meningkatnya pengaduan dan fakta kekerasan yang terus berlangsung dialami perempuan korban. Padahal di sisi lain, Sistem akses keadilan perempuan korban dapat dimulai dari pengakuan hak dan akses perempuan korban memperoleh zakat.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait