Konflik Berkepanjangan Israel - Lebanon, Sejarah Perang Timur Tengah yang Tak Bertepi

Joko Setyawanto
Pasukan Israel di Perbatasan Lebanon. Foto: Twitter/ Israel Defense Force.

LEBANON, Lintasbabel.iNews.id - Perang Israel versus Hamas belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Konflik justru meluas ke beberapa wilayah di kawasan Timur Tengah, seperti Suriah, Irak, dan Lebanon, dengan melibatkan sekutu masing-masing pihak.

Kelompok bersenjata Lebanon, Hizbullah, dan militer Israel saling baku tembak artileri dan serangan lainnya di perbatasan bersama selama 3 minggu terakhir, sehingga meningkatkan kekhawatiran bahwa perang regional dapat meletus. Kekerasan ini terjadi di tengah berlanjutnya pemboman dan blokade di Jalur Gaza, wilayah Palestina yang menjadi pusat konflik Israel-Hamas.

Israel menyatakan perang terhadap Hamas pada tanggal 8 Oktober, satu hari setelah kelompok Palestina melancarkan serangan mendadak dari Gaza yang menewaskan sekitar 1.400 warga Israel. 

Setelah pemboman udara Israel di Gaza, kematian warga Palestina melonjak hingga hampir 8.000 orang. Kekerasan tersebut telah mendorong Hizbullah yang didukung Iran untuk mengatakan bahwa mereka akan berdiri “dalam solidaritas” dengan rakyat Palestina. 

Serangan-serangan Hizbullah direspon langsung oleh pasukan Israel (IDF), demikian pula sebaliknya. Jual-beli serangan ini telah membangkitkan kembali ingatan akan konflik antara kedua kekuatan yang relatif tidak aktif sejak tahun 2006.

Saat ketegangan terus terjadi dan cenderung mengalami peningkatan, berikut catatan sejarah konflik panjang antara Israel - Lebanon.

 

Pra 1948

Sebelum berdirinya negara Israel, Lebanon memperdebatkan hubungan seperti apa yang akan mereka miliki dengan Zionis di Palestina, menurut Makram Rabah, dosen sejarah di American University of Beirut

Lebanon memperoleh kemerdekaan dari Perancis pada tahun 1943. Kaum nasionalis tertentu di republik yang baru terbentuk ini percaya pada aliansi minoritas yang akan membuat negara Kristen-Lebanon bersekutu dengan Zionis.

Namun para pendiri Lebanon, terutama Riad al-Solh dan Bechara el-Khoury merasa mereka tidak dapat menjalin hubungan dengan Israel dan menjaga hubungan baik dengan negara-negara Arab tetangganya, menurut Rabah. 

1948

Negara Israel mendeklarasikan kemerdekaan pada tanggal 14 Mei. Keesokan harinya, Mesir, Suriah, Yordania, Irak, dan Lebanon menyatakan perang terhadap Israel. Lebanon memiliki tentara terkecil di antara negara-negara Arab.

Pasukan Israel memukul mundur para pejuang Arab dan untuk sementara menduduki sebagian wilayah selatan Lebanon. 

Gencatan senjata ditandatangani pada tanggal 23 Maret 1949, dan pasukan Israel mundur ke perbatasan yang diakui secara internasional. 

1965

Munculnya Fatah, sebuah kelompok nasionalis Palestina, sebagai kekuatan yang kuat di wilayah tersebut bertepatan dengan konflik perbatasan yang kembali terjadi.

“Perbatasan Lebanon-Israel sepi sampai sekitar tahun 1965 ketika gerakan Fatah mulai melancarkan serangan dengan intensitas rendah terhadap posisi Israel,” Hilal Khashan, seorang profesor ilmu politik di American University of Beirut, mengatakan kepada Al Jazeera. 

Tentara Lebanon berusaha melawan operasi Fatah, namun opini publik terpecah. Banyak komunitas Muslim di negara itu dan kelompok kiri sekuler atau pan-Arab bersimpati dengan perjuangan Palestina. Namun, kelompok sayap kanan nasionalis Lebanon yang sebagian besar terdiri dari partai-partai besar Maronit, yang mewakili basis mayoritas Kristen tidak ingin terlibat dalam konflik yang mereka rasa bukan urusan mereka.

1967

Ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab di sekitarnya meningkat menjadi Perang Enam Hari pada tanggal 5 -10Juni.

Namun dalam waktu seminggu, “militer Arab dikalahkan secara telak oleh Israel,” kata Khashan. 

Sebagai hasil dari kemenangan Israel, warga Palestina diusir dari Yerusalem, Tepi Barat dan Gaza dalam apa yang dikenal sebagai “Naksa” atau kemunduran.

Keterlibatan militer Lebanon dalam Perang Enam Hari sangat minim, namun dampaknya signifikan. Ribuan pengungsi Palestina melarikan diri ke Lebanon, dan kekerasan terjadi terhadap penduduk Yahudi di Lebanon, yang menyebabkan banyak orang berimigrasi. 

Setahun kemudian, Fatah pimpinan Yasser Arafat mengambil kendali Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), sebuah koalisi luas yang mewakili rakyat Palestina.

“Palestina kini mulai melancarkan operasi melawan Israel dengan 14 kelompok di bawah payung PLO,” kata Khashan.

1969

Pada tanggal 2 November, delegasi yang dipimpin oleh pemimpin PLO Arafat dan Jenderal Angkatan Darat Lebanon Emile Bustani menandatangani Perjanjian Kairo. Perjanjian tersebut mengalihkan kendali atas 16 kamp pengungsi Palestina di Lebanon ke Komando Perjuangan Bersenjata Palestina, sebuah entitas yang dibentuk oleh PLO.

“Perjanjian Kairo memberikan pengakuan resmi kepada PLO untuk melancarkan operasi dari Lebanon ke wilayah Palestina yang diduduki,” kata Rabah.

 

1970

Pejuang Palestina memimpin pemberontakan yang gagal di Yordania, yang mengakibatkan pengusiran mereka oleh Raja Hussein pada bulan September. Peristiwa tersebut diberi nama Black September.

Setelah kejadian tersebut, PLO memindahkan markas besarnya dari Yordania ke ibu kota Lebanon, Beirut, dan markas besar militernya ke Lebanon selatan.

1973

Pada malam tanggal 9 April dan berlanjut hingga dini hari tanggal 10 April, pasukan khusus Israel menaiki speedboat dan mendarat di pantai Lebanon. Mereka membunuh tiga pemimpin PLO. Sebagai bagian dari Operasi Wrath of God Israel, serangan itu dikenal dalam bahasa Arab sebagai Pembantaian Verdun.

 

1978

Pejuang Palestina yang berbasis di Lebanon terus melakukan serangan lintas batas, dan pada bulan Maret, Israel menginvasi Lebanon, maju hingga Sungai Litani. 

Sebagai tanggapan, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 425, yang menyerukan penarikan segera pasukan Israel. Mereka juga membentuk Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL), yang masih beroperasi hingga saat ini.

Pada saat itu, Israel mempersenjatai dan mendanai Tentara Lebanon Selatan, yang terdiri dari umat Kristen Lebanon. Sementara kelompok Palestina, didukung oleh Suriah.

1979

Perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel yang berasal dari Perjanjian Camp David tahun sebelumnya, menggeser keseimbangan kekuatan di Timur Tengah. 

“Negara-negara Arab sampai pada kesimpulan bahwa mereka tidak dapat menyerang Israel tanpa Mesir,” kata Khashan.

 

1982

Pada tanggal 6 Juni 1982, Israel menginvasi Lebanon dengan alasan menghentikan serangan PLO di perbatasannya. Namun, pasukan Israel maju hingga ke utara hingga ibu kota Beirut, mengepung Beirut Barat yang sebagian besar pro-Palestina. 

Invasi tersebut menyebabkan keluarnya PLO dari Lebanon di bawah pengawasan pasukan penjaga perdamaian multinasional pada tanggal 1 September.

Invasi Israel ke Lebanon juga akan membantu memicu pembentukan Hizbullah, dengan dukungan dari Garda Revolusi Iran. 

“Iran mengaku bertanggung jawab atas perjuangan Palestina pada saat negara-negara Arab telah mengabaikannya,” kata Khashan.

Sementara itu, pada tanggal 14 September, pemimpin Pasukan Lebanon (LF) dan Presiden terpilih Bashir Gemayel dibunuh oleh seorang anggota Partai Nasionalis Sosial Suriah. 

Dua hari kemudian, dengan perlindungan dari militer Israel, sesama pemimpin LF Elie Hobeika menggalang kekuatan Kristen sayap kanan yang menewaskan ratusan, bahkan ribuan, warga Palestina dan Syiah Lebanon. 

Peristiwa ini sekarang dikenal sebagai pembantaian Sabra dan Shatila. Meskipun jumlah keseluruhan korban masih belum dapat dipastikan, beberapa perkiraan menyebutkan jumlah korban tewas antara 2.000 hingga 3.500 orang.

1985

Israel menarik diri ke Sungai Litani di Lebanon selatan dan menciptakan apa yang disebut zona keamanan di sana. Pendudukan Israel di wilayah selatan berlanjut hingga tahun 2000.

 

1993

Israel meluncurkan apa yang disebut Operasi Akuntabilitas di Lebanon setelah operasi Hizbullah menewaskan sedikitnya lima tentara Israel. Juga dikenal sebagai Perang Tujuh Hari, konflik tersebut mengakibatkan ribuan bangunan dibom, dengan 118 warga sipil Lebanon tewas dan 500 lainnya luka-luka.

1996

Korban di kedua sisi perbatasan Lebanon-Israel memicu Operasi Grapes of Wrath pada tanggal 11 April. Israel membombardir Lebanon dengan peluru dan serangan udara, yang mengakibatkan Pembantaian Qana terhadap lebih dari 100 warga Lebanon, termasuk setidaknya 37 anak-anak.

 

2000

Pada tanggal 24 Mei, Israel menyatakan akan menarik pasukannya ke Garis Biru, perbatasan yang ditetapkan PBB. Keputusan tersebut secara efektif mengakhiri pendudukan Israel di Lebanon selatan. Masyarakat Lebanon merayakan tanggal 25 Mei sebagai hari libur nasional.

Namun anehnya, ketika pasukan Israel mundur, banyak anggota Tentara Lebanon Selatan bergabung dengan mereka untuk keluar dari Lebanon.

2006

Dalam operasi ke wilayah Israel, Hizbullah membunuh tiga tentara dan menangkap dua orang. Hizbullah menuntut pembebasan tahanan Lebanon dengan imbalan tentara Israel. 

Namun yang terjadi bukan pertukaran tawanan. Hizbullah mengirimkan roket dan Israel membalas dengan serangan udara, Perang Juli pun pecah dan berlangsung selama 34 hari.

Sekitar 1.200 warga Lebanon tewas dan 4.400 lainnya luka-luka, kebanyakan warga sipil. Sementara itu, Israel melaporkan 158 orang tewas, kebanyakan dari mereka adalah tentara. 

“Tahun 2006 bukanlah perang antara Lebanon dan Israel, melainkan perang antara Hizbullah dan Israel,” kata Rabah.

2023

Sampai 7 Oktober, perbatasan relatif sepi. Roket atau drone sesekali melintas dari Lebanon ke Israel tanpa menimbulkan eskalasi yang serius, sementara Israel melanggar wilayah udara Lebanon lebih dari 22.000 kali dari tahun 2007 hingga 2022.

Namun stabilitas relatif itu berubah dalam 3 minggu terakhir, sejak invasi Hamas yang menewaskan 1.400 warga Israel. Pembantaian itu kemudian disikapi Israel dengan mengumumkan perang terhadap Hamas pada keesokan harinya dan melancarkan pengeboman ke wilayah Gaza yang merupakan basis Hamas.

Pengeboman itu kemudian membangkitkan solidarias Hizbullah untuk membuka front pertempuran diperbatasan Israel-Lebanon.

Ketika Israel dan Hizbullah saling melancarkan serangan, jumlah korban jiwa mulai meningkat. Di antara korban jiwa adalah seorang jurnalis asal Lebanon untuk Reuters bernama Issam Abdallah, seorang warga lanjut usia asal Lebanon. 

 

Editor : Muri Setiawan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network