AKHIR-akhir ini masyarakat dipertontonkan dengan para elite politik yang mulai berbondong-bondong untuk turun gunung menjalankan aktivitas politiknya yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan khususnya yakni melakukan politik pencitraan guna mengambil perhatian masyarakat dan mendulang citra positif yang mengorientasikan untuk meraup suara elektoral. Praktik politik pencitraan juga tidak bisa dilepaskan dari pemilu dan sistem kepartaian dari para kandidat nantinya, sehingga hubungan keduanya dinilai berbanding lurus untuk bersama-sama melakukan pencitraan.
Seperti halnya yang kita ketahui bersama bahwa pesta demokrasi pemilu serentak 2024 sudah didepan mata, dinamika serta persaingan antar tokoh politik sudah mulai. Kemudian, belum jelasnya sistem pemilu yang akan diterapkan apakah itu menerapkan proporsional terbuka ataupun tertutup, hal tersebut mendorong maraknya politik pencitraan di kalangan kandidat untuk melakukan kampanye melalui beberapa alat peraga yang dijadikan sebagai alat gerak dan alat strategis bagi para tokoh politik untuk mengambil hati simpatisan dan memperoleh dukungan dari publik. Tataran tersebut menjadi lahan yang paling strategis dalam menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat, serta juga menjadi kesempatan bagi para elit politik memanfatkan sisa waktu yang tersedia untuk melakukan usaha-usaha yang terorganizir guna mempengaruhi proses-proses pembuatan keputusan di dalam beberapa kelompok yang spesifik.
Persoalan intrik politik dapat dilihat melalui fase dimana peluit start untuk memulai pertandingan belum dibunyikan oleh tim pelaksana, akan tetapi sering kali didapati bahwa giat-giat politik sudah mulai digalakan terkhusus menjalankan giat personal branding.
Personal branding kerap kali dilakukan guna mengambil pundi-pundi elektabilitas dikalangan publik, hal tersebut kerap dilakukan oleh para calon yang masih dalam kondisi pemegang kendali kuasa yang akan ikut serta dalam perhelatan lomba berikutnya, dalam hal itu sering kita kenal dengan istilah incumbent atau petahana yang secara sederhanya ialah pemegang suatu jabatan politik yang sedang menjabat.
Hal itu dapat kita temui dilapangan seperti halnya disudut-sudut perkotaan melalui papan billboard ataupun berupa baliho baik diperdesaan maupun diperkotaan yang juga kerap kita temui, momentum kali ini sangatlah tepat mengingat bulan suci ramadhan sangat turun sangat membawa berkah baik bagi masyarakat terkhususnya maupun elit politik terkhusus bagi para kandidat yang akan ikut serta pada perhelatan kompetisi pemilihan umum ditahun 2024 nantinya.
Fakta di lapangan banyak didapati bagi para elit politik yang ikut serta meramaikan momentum bulan suci ini untuk mengambil peran dikalangan masyarakat guna membangun braganing positif melalui cara pembagian jadwal imsakiyah, maupun ucapan-ucapan selamat menjalankan ibadah puasa. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan peraturan dari KPU Nomor 23 tahun 2018 mengenai Kampanye Pemilihan Umum, mengingat perhelatan kampanye belum diperbolehkan. Sehingga hal demikian jelas menimbulkan polemik dinamika dikalangan publik yang berpotensi memunculkan ketidakadilan dalam melaksanakan kampanye.
Melalui pernyataan di atas mengenai giat politik yang dilakukan oleh para pejabat untuk menampilkan Flyer yang dipasangkan di billboard dipandang sangatlah minim efisiensinya karena hal tersebut banyak mengabiskan kucuran anggaran yang mencapai angka jutaan sampai puluhan juta rupiah, yang prosesnya dilakukan oleh mitra strategis pemerintah maupun kepemilikan pemerintah sendiri.
Padahal masih banyak aktivitas yang dipandang lebih subtansial dapat dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Contohnya saat ini, kondisi harga sembako dan harga-harga kebutuhan rumah tangga yang melonjak kala menyambut momentum bulan suci sehingga seharusnya pemerintah mampu berperan hadir sebagai pihak pendorong agar masyarakat dapat merasakan keberadaan dari mereka selaku pejabat pemerintahan. Salah satunya dengan mendorong masyarakat berpartisipasi melalui pengadaan bazar murah maupun hal lainnya yang dipandang mampu mensejahterakan masyarakat ketimbang memasang Flyer ucapan yang dinilai minim subtansi.
Pada kondisi ini seharusnya masyarakat mampu melebihi kapasitas dari elit politik dalam melakukan pencitraan, sehingga nantinya untuk memilih pemimpin dimasa akan datang yang bukan hanya dinilai dari pencitraan politiknya saja. Sehingga seluruh elemen baik golongan muda maupun golongan tua harus siap dalam pengambilan sikap menghadapi fenomena semacam ini, sehingga dapat menyerukan bahwa hal yang berkaitan dengan politik pencitraan tidak cukup untuk mengambil hati masyarakat.
Mengingat kondisi saat ini menampakkan keadaan genting, dengan banyaknya dinamika yang terjadi pada dunia perpolitikan indonesia, baik bakal calon yang nantinya berlomba-lomba untuk menarik perhatian masyarakat , seyogyanya masyarakat dapat menilai secara objektif mengenai kontribusi tindakan yang telah dilakukan. Peringatan kepada seluruh elemen masyarakat untuk secepatnya sadar bahwa hal tersebut hanya sebatas bagian dari tipu muslihat belaka yang lumrah dilakukan seperti tahun-tahun politik sebelumnya.
Artikel ini adalah opini yang ditulis oleh Okta Renaldi, Ketua Departemen Jaringan Kemahasiswaan Bidang PTKP HMI Cabang Babel Raya.
Editor : Muri Setiawan