Selama 20 tahun terakhir, dilansir dari mongabay.co.id, Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan mangrove sekitar 240.467,98 hektar hutan mangrove, atau tersisa 33.224,83 hektar. Kemudian, apa masalahnya? Masalah terbesar baru akan kita ungkap.
Pada tahun 2016 dilakukan penelitian oleh tim Fakultas Kehutanan UGM dengan judul “Karakteristik Mangrove di Sekitar Pertambangan Timah Lepas Pantai Kabupaten Selatan” dengan tambahan data oleh Dinas Kehutanan Kepulauan Bangka Belitung. Data tersebut menjjelaskan luasan hutan mangrove di Babel mencapai 273.692,81 hektar. Tersebar di Kabupaten Bangka (38.957,14 hektar), Bangka Barat (48.529,43 hektar), Bangka Selatan (58.165,04 hektar), Bangka Tengah (19.150,86 hektar), Belitung (65.658,06 hektar), dan Belitung Timur (43.232,28 hektar).
Kemudian laporan yang sama 2016 didapatkan data luasan hutan mangrove sekitar 204.467,29 hektar mengalami kerusakan, dengan keterangan 117.229,29 hektar lahan rusak berat dan seluas 87.238,69 hektar rusak sedang. Penyebabnya tak lain adalah penambangan liar (Tambang Inkonvensional), tambak udang skala besar, perkebunan monokultur skala besar, serta pembangunan infrastruktur.
Mirisnya, Perda No. 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) menjelaskan rencana pemanfaatan pesisir guna dijadikan sektor perekonomian dengan fokus penambakan. Hal lain juga perlu diperhatikan apabila wilayah mangrove ditetapkan sebagai kawasan pariwisata, kemungkinan terburuknya adalah menumpuknya sampah dan limbah.
Jika solusinya tetap mengarah pada tambak dan pariwisata, yang mesti dilakukan ialah tetap mempertahankan nuansa alaminya dengan metode pakan alami serta pengembangan ekonomi dari hasil mangrove itu sendiri seperti obat-obatan, madu dan lain sebagainya.
Editor : Muri Setiawan