PASCA berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), pemerintah menghapus istilah Izin Mendirikan bangunan (IMB) sebagai salah satu syarat untuk mendirikan bangunan gedung. Istilah IMB digantikan dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
PBG merupakan perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung (Pasal 1 angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung atau PP 16/2021). Disamping itu untuk mengontrol dan mengawasi bangunan, yang diharapkan untuk membangun tata letak tertib bangunan dan untuk memenuhi standar teknik bangunan dan estetika, aman, nyaman, sehat dan memiliki nilai ekonomi yang akan digunakan sebagai penduduk atau kegiatan ekonomi dan sosial budaya bagi penghuni atau pengguna.
Mengacu pada teori Grindle (1980) bahwa persoalan konteks merupakan satu dari dua unsur yang sangat besar pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan publik. Persoalan kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) itu bukan hanya soal legalitas perizinan berupa boleh dan tidak boleh seseorang atau badan hukum mendirikan bangunan di suatu tempat dan untuk peruntukan tertentu. Kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) itu jangkauannya lebih luas dan dimensional sifatnya. Ia merupakan ‘pintu masuk’ yang harus dilalui sebelum sebuah bangunan itu didirikan.
Melalui Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) itu kebijakan tata ruang sebuah perkotaan diterjemahkan dalam ranah yang lebih teknis dan operasional. Asumsinya jika kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) ini dipatuhi atau bisa berjalan baik, maka tata ruang perkotaan akan berjalan sesuai yang direncanakan. Pendirian bangunan yang tidak dilengkapi izin PBG akan dikenai sanksi administratif, berupa (Pasal 24 angka 42 UU Cipta Kerja terkait Pasal 45 ayat (1) UU Bangunan Gedung): Peringatan tertulis; Pembatasan kegiatan pembangunan; Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; Penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung; Pembekuan persetujuan bangunan gedung; Pencabutan persetujuan bangunan gedung; Pembekuan SLF bangunan gedung; Pencabutan SLF fungsi bangunan gedung; atau Perintah pembongkaran bangunan gedung.
Namun, dalam pelaksanaan atau implementasi kebijakan ini ditemukan berbagai masalah, baik yang berasal dari kebijakan internal dan eksternal. Menurut Edwards III (1980: 1), studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi administrasi publik dan kebijakan publik. Ada empat faktor atau variable yang dikemukakan Edwards III memiliki keterkaitan erat satu sama lainnya. Asumsinya jika masing-masing faktor atau variabel itu dapat berinteraksi dengan baik maka tujuan kebijakan akan mudah dicapai, begitu juga sebaliknya. Diantara faktor tersebut yang sering dianggap sangat penting adalah faktor komunikasi dan sumber daya dari organisasi pelaksana kebijakan. Meskipun demikian masing-masing faktor tersebut diyakini memiliki peranan yang sangat penting dalam keseluruhan proses implementasi kebijakan. Intinya Edwards III mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) faktor atau variabel kritis dalam implementasi kebijakan publik, yaitu komunikasi, sumberdaya, sikap kecenderungan dan struktur birokrasi.
Implementasi kebijakan publik merupakan bagian dari proses organisasional dari organisasi publik yang tidak vakum secara sosial. Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosialnya, sehingga aspek internal dan eksternal organisasi sangat menentukan proses implementasi kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Dalam kasus Kabupaten Bangka, ternyata aspek konten dan konteks kebijakan memiliki pengaruh yang lebih menonjol dibandingkan aspek yang lain. Adapun yang termasuk aspek konten dan konteks tersebut mencakup di dalamnya unsur lingkungan kebijakan berupa kepemimpinan dan kehendak politik pemerintahan yang kuat, terutama dari unsur eksekutif ( Bupati). Juga kondisi obyektif Kabupaten Bangka yang khas dan unik dari sisi sosial politik, ekonomi, geografis dan tata ruang.
Oleh karena itu kebijakan perlu diperhatikan secara seksama agar sebuah kebijakan bisa ‘membumi dan memiliki akar yang kuat’, sehingga tidak ada kebijakan yang bagus di atas kertas tetapi sulit diimplementasikan karena tidak sesuai dengan konteks dimana kebijakan itu diterapkan. Dan perlunya melakukan serangkaian terobosan dalam proses implementasi kebijakan dengan mengacu pada tujuan dasar yang hendak dicapai, sehingga proses pelayanan yang diberikan tidak lebih mengedepankan aspek legal formal dan prosedural semata, tetapi senantiasa mempertimbangkan aspek pencapaian tujuan, sehingga sejumlah persoalan yang dianggap menghambat yang berasal dari sisi rumusan kebijakan itu bisa diatasi dan dicarikan jalan keluar tanpa harus menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan dimaksud.
Artikel ini ditulis oleh Edy Yuanto, ST., EDY Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Administrasi Publik, STISIPOL PAHLAWAN 12 BANGKA
Editor : Muri Setiawan