Pemerintah Bangka Belitung: lambat, tidak serius, dan tidak sensitif sejarah
Kalau pemerintah benar-benar peduli sejarah, harusnya sudah ada pusat riset, digitalisasi arsip, kurikulum sejarah lokal, serta perlindungan hukum ketat untuk situs Kota Kapur.
Langkah pemerintah terkesan fragmentaris: seminar sesekali, pernyataan publik, tanpa strategi komprehensif untuk “menjemput” dan menyusun narasi besar bagi publik. Padahal kalau sejarah dianggap aset, tindak nyata bukan cuma retorika.
Lebih ironis lagi, banyak catatan sejarah Babel justru tersimpan di Universitas Leiden ribuan kilometer jauhnya. Tapi pemerintah seperti santai saja. Seolah sejarah Bangka Belitung lebih aman kalau disimpan di luar negeri daripada dipelajari oleh warganya sendiri.
Masalah sejarah jadi elitis dan masyarakat jadi penonton
Yang punya cerita sejarah Babel sekarang cuma lingkaran kecil orang: para tetua adat, para Datuk, para pemilik silsilah. Mereka bukan musuh — mereka penyimpan pengetahuan. Yang jadi masalah adalah pemerintah membiarkan sejarah menjadi konsumsi eksklusif, bukan pengetahuan publik. Tak pernah mencapai anak sekolah, nelayan, buruh, atau ibu rumah tangga.
Akibatnya: sejarah terasa jauh, identitas lokal terasa kabur,generasi muda tumbuh tanpa kebanggaan terhadap tanahnya. Kalau terus seperti ini, jangan heran kalau suatu hari anak muda Babel lebih bangga dengan influencer daripada leluhurnya sendiri.
Pertanyaan besarnya: masyarakat seperti apa yang ingin dibangun tanpa tahu dari mana ia berasal?Bagaimana mencintai tanah ini kalau sejarahnya saja tidak pernah diceritakan? Bagaimana menjaga warisan kalau masyarakat tidak merasa memiliki?
Editor : Haryanto
Artikel Terkait
