Reformasi birokrasi tahap ketiga (2025–2030) sebagaimana dirancang KemenPANRB diarahkan untuk mewujudkan “Birokrasi Berkelas Dunia.” Namun, cita-cita itu hanya akan tercapai bila aparatur memahami esensi kinerja sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada publik, bukan sekadar kewajiban administratif. Kinerja bukan hanya angka dalam laporan, tetapi representasi dari nilai yang dihasilkan bagi masyarakat.
Perlu diingat, kepatuhan bukanlah hal yang salah. Dalam birokrasi modern, kepatuhan tetap penting sebagai fondasi tata kelola yang baik (good governance). Namun, kepatuhan harus menjadi sarana, bukan tujuan. Tujuan akhirnya adalah kinerja yang berorientasi pada hasil dan nilai publik.
Dengan demikian, reformasi birokrasi tidak boleh berhenti pada perbaikan sistem dan regulasi. Ia harus menjelma menjadi gerakan nilai sebuah perubahan paradigma yang menempatkan ASN sebagai agen perubahan, bukan sekadar pelaksana aturan.
Arah baru ini membutuhkan kepemimpinan publik yang berani keluar dari zona nyaman, sistem insentif yang berbasis merit, serta ekosistem digital yang mendukung kolaborasi lintas sektor. Bila semua unsur ini berpadu, maka reformasi birokrasi bukan hanya akan melahirkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, tetapi juga birokrasi yang lincah, adaptif, dan berorientasi pada hasil.
Pada akhirnya, transformasi birokrasi dari kepatuhan menuju kinerja bukanlah sekadar perubahan teknokratis, melainkan revolusi mental aparatur negara. Di tangan ASN yang berintegritas, berorientasi hasil, dan berjiwa melayani, birokrasi Indonesia dapat menjadi mesin penggerak kemajuan bangsa. Sebab, hakikat birokrasi yang baik bukan terletak pada seberapa taat ia pada aturan, melainkan seberapa besar manfaat yang mampu ia hadirkan bagi rakyatnya. (*)
(*) Penulis : Kurnia Apriyanti
Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pahlawan 12 Sungailiat
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait
