BEBERAPA hari ke belakang dan bahkan sampai hari ini, selama aksi kawal putusan MK, telah banyak terjadi tindakan kekerasan atau represifitas dari aparat keamanan yang seharusnya melindungi masyarakat ketika menyampaikan pendapat di muka umum. Adanya penyelewengan dari fungsi penegak hukum, membuat kita menyadari bahwa sudah sepatutnya instansi ini (kepolisian) berbenah.
Dasar Hukum
Kebebasan berpendapat diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F. Pasal 28F mengatur kebebasan berpendapat, dan Pasal 28E ayat (3) mengatur kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berpendapat juga diatur lebih lanjut dalam UU 9/1998, yang mengatur bahwa bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas.
Konstitusi kita di Pasal 28I ayat (4) telah menyebutkan kewajiban atau tanggung jawab negara dalam menjaga HAM.
Dalam konteks yang sama, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyebutkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat mencakup hak setiap orang untuk berpendapat tanpa campur tangan, hak setiap orang untuk menyatakan pendapat termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis, maupun dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain
Kasus Kekerasan dan Penangkapan Beberapa Hari Terakhir
Telah terjadi penangkapan sebanyak 159 peserta aksi demontrasi di depan DPR RI, yang kemudian oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diminta agar Polda Metro Jaya segera melepas 159 peserta aksi demontrasi (22/8/2024).
Selain di Polda Metro Jaya, TAUD (Tim Advokasi untuk Demokrasi) menerima informasi adanya 105 orang yang ditangkap dan ditahan di Polresta Jakarta Barat dengan tiga korban di Polsek Tanjung Duren.
TAUD juga mendapatkan penghalangan ketika ingin mendampingi para korban di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Penghalangan pendampingan hukum ini merupakan pelanggaran terhadap hak akses bantuan hukum.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyoroti kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis saat meliput demo Kawal Putusan MK pada 22 Agustus 2024. AJI dan LBH Pers mencatat setidaknya 11 jurnalis menjadi korban kekerasan oleh aparat keamanan.
Per 26 Agustus 2024, Aksi demonstrasi di Gedung DPRD Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng) menyababkan 33 peserta aksi demontrasi yang disebabkan oleh petugas kepolisian menembakan gas air mata dan water cannon ke pengunjuk rasa.
Monash Data & Democracy Research mencatat ada upaya menenggelamkan percakapan warga yang mendukung demonstrasi Kawal Putusan MK di media sosial. “Upaya mengaburkan suata rakyat,” dalam keterangan resmi yang diterima oleh Tempo pada Kamis 22 Agustus 2024.
Konter narasi untuk menutupi dukungan terhadap aksi Kawal Putusan MK itu dilakukan dengan menggaungkan cuitan ‘Pilih Damai Bareng Prabowo’ dan ‘Lebih Sejuk Lebih Nyaman’.
Catatan Kasus Selama 2024
Sepanjang Januari-April 2024, berdasarkan pemantauan KontraS, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.
Data pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Polri ini juga ditunjukkan oleh dokumentasi yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tiga Rumah Tahanan Negara yang berlokasi di Jakarta. Selama periode Januari-Mei 2024, ada setidaknya 35 tahanan (32 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan penyiksaan pada proses penyidikan; 21 tahanan (15 laki-laki dan 6 perempuan) mengaku mengalami pemerasan; 7 tahanan (4 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan kekerasan seksual. Tiga puluh lima orang yang mengaku mengalami penyiksaan tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang memadai.
Data Kekerasan Tahun-Tahun Sebelumnya
Kontras menyatakan telah menemukan sepanjang Juli 2022-Juni 2023, ada 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan korban berupa 187 warga tewas dan 1363 warga terluka.
Dari ratusan peristiwa kekerasan yang tercatat, terbanyak berupa penembakan dengan 440 kasus, kemudian 58 berupa kasus penganiayaan, 41 kasus pembubaran paksa dan 46 adalah kasus penangkapan sewenang-wenang. Ada pula temuan Kontras menemukan 13 kasus penggunaan gas air mata.
Sepanjang tahun 2023, Komnas HAM mencatat Polri sebagai pihak yang paling banyak diadukan, lebih tinggi dibandingkan korporasi dan pemerintah. Laporan terhadap Polri pun tidak melulu soal penggunaan kekerasan berlebihan, namun juga tentang profesionalisme Korps Bhayangkara dalam penyelidikan dan penyidikan perkara. Sementara itu, KontraS menemukan setidaknya 54 kasus penyiksaan sepanjang Juni 2022 – Mei 2023, 34 kasus di antaranya dilakukan oleh anggota kepolisian. Namun, dari 34 kasus tersebut, 19 kasus tidak ada proses penindakan terhadap pelaku Polisi.
Indikasi Masalah
Sejatinya ada banyak peraturan Polri yang mengatur soal prosedur pengamanan aksi, di antaranya Peraturan Kepala Kepolisian Negara (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri serta Perkap Nomor 1 Tahun 2009 yang mengatur penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Peraturan-peraturan tersebut tentunya untuk membatasi dan menjadi koridor personel di lapangan. Karena tidak adanya upaya dari internal Polri untuk menegakkan peraturan tersebut, dampaknya, kekerasan oleh oknum polisi dianggap menjadi hal yang lumrah oleh institusi.
Implementasi peraturan tersebut di lapangan memang tidak mudah. Meskipun begitu, alasan itu tidak bisa menjadi alat pemakluman bagi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Di sisi lain, negara tidak pernah meminta pertanggungjawaban pada institusi Polri dan tidak ada mekanisme sanksi oleh negara soal kekerasan yang dilakukan. Jadi meskipun dalam penanganan aksi terjadi penggunaan kekuasaan yang berlebihan berupa kekerasan, nyaris tidak ada upaya evaluasi, apalagi sanksi bagi personel pelaku kekerasan.
Tuntutan HMI
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bangka Belitung Raya menyatakan sikap dan tuntutan sebagai berikut:
1. HMI mengecam keras tindakan represif aparat penegak hukum terhadap masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat di muka umum.
2. HMI mengutuk segala tindakan aparat penegak hukum yang menghalangi upaya pengawalan dan pendampingan hukum kepada masyarakat yang ditangkap saat menyampaikan pendapat di muka umum.
3. Memaksa adanya penindakan tegas oknum-oknum Polri yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat, baik yang terjadi selama periode aksi kawal putusan MK dan kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya.
4. Mengharuskan adanya evaluasi dari instansi Polri untuk merubah budaya kekerasan dan pembiaran tindak kekerasan kepada masyarakat.
5. HMI menolak RUU Polri karena dinilai memperbesar wewenang Polri yang tidak tepat sasaran.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait