BANGKA TENGAH, Lintasbabel.iNews.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera mencabut Izin Usaha Pertambangan PT Timah di Pesisir-Laut Desa Batu Beriga. Tuntutan ini disampaikan bersama masyarakat dalam acara sedekah laut di pantai Batu Panjang, Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah (Bateng), Minggu (12/5/2024).
Sedekah laut di pantai Batu Panjang, Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah (Bateng), Minggu (12/5/2024). Foto: Istimewa/ Walhi.
Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz mengatakan, penetapan pola ruang untuk pertambangan timah di pesisir-laut Batu Beriga merupakan kebijakan keliru. Sejak awal rencana eksploitasi tambang timah di laut sudah ditolak masyarakat pesisir di Kepulauan Bangka Belitung.
“Di tengah kerusakan ekosistem terestrial yang terus terjadi, laut menjadi harapan bagi masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung. Selama ratusan tahun wilayah pesisir-laut dimanfaatkan secara arif dan lestari. Praktik penghormatan terhadap laut juga tercermin dari ritual sedekah laot di Batu Beriga,” kata Hafiz, Minggu (12/5/2024).
“Sedekah laot merupakan sebuah kesadaran akan keberlanjutan ekosistem laut, tanggung jawab terhadap lingkungan, dan wujud kepedulian terhadap sesama,” ujarnya.
Hafiz menyampaikan, perairan Batu Beriga merupakan ekosistem penting bagi terumbu karang serta mamalia laut yang dilindungi, seperti dugong dan lumba-lumba. Bentang alam pesisir-laut juga merupakan wilayah tangkap nelayan tradisional yang telah terjaga secara turun temurun.
Sedekah laut di pantai Batu Panjang, Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah (Bateng), Minggu (12/5/2024). Foto: Istimewa/ Walhi.
”Wilayah Pesisir-laut Desa Batu Beriga merupakan ekosistem esensial yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT). Selain itu, lebih dari 80 persen masyarakat Desa Batu Beriga ruang hidupnya bergantung dari hasil laut. Sehingga tidak ada alasan bagi menteri ESDM untuk tidak mencabut IUP PT Timah di laut Batu Beriga,” ujar Hafiz.
Hafiz menjelaskan kandungan logam berat (Pb, Cd, Cr) pada limbah cair kegiatan penambangan timah sudah berada di atas baku mutu lingkungan, sehingga menjadi bahan pencemar lingkungan. Hal ini diperparah dengan praktik pembuangan limbah tambang timah secara langsung atau berada di atas permukaan laut. Kondisi arus laut yang dinamis, limbah penambangan dapat terbawa sejauh 6-7 mil, sehingga aktivitas penambangan timah sangat mengganggu wilayah tangkap nelayan.
Selain itu, penambangan timah lepas pantai telah memberi pengaruh besar terhadap kerusakan terumbu karang serta ekosistem laut di Bangka Belitung secara keseluruhan.
Jika merujuk data 2015 lalu, luasan terumbu karang di Bangka Belitung mencapai 82.259,84 hektar. Seiring waktu, berdasarkan analisis citra tahun 2017, ekosistem terumbu karang hidup seluas 12.474,54 hektar. Sementara, luas karang mati sekitar 5.270,31 hektar.
Sedekah laut di pantai Batu Panjang, Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah (Bateng), Minggu (12/5/2024). Foto: Istimewa/ Walhi.
”Artinya, dalam kurun waktu dua tahun, terumbu karang di Bangka Belitung berkurang sekitar 64.514,99 hektar,” ujar Hafiz.
Hafiz juga menyampaikan korupsi sektor pertambangan timah yang menyebabkan kerugian negara Rp271 Triliun akibat kerusakan lingkungan di kawasan hutan dan non kawasan hutan, merupakan bukti kegagalan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, aktvitas penambangan juga terus memakan korban. Berdasarkan data kompilasi Walhi Kepulauan Bangka Belitung, sepanjang 2021-2024, ada 31 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang, dan 22 orang mengalami luka-luka.
Selanjutnya, ribuan kolong yang belum di reklamasi juga terus memakan korban. Sepanjang tahun 2021- 2024, tercatat ada 23 kasus tenggelam di kolong. Dari 17 korban yang meninggal dunia, 14 diantaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
Hingga saat ini, di Kepulauan Bangka Belitung, ada ribuan kolong yang belum di reklamasi. Tercatat di tahun 2018, jumlah kolong yang tersebar di semua wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,terdiri atas 12. 607 kolong dengan total luasan 15.579,747 hektar.
“Analisis kami, jika struktur ruang di Kepulauan Bangka Belitung masih di dominasi sektor pertambangan semakin membuka peluang korupsi sumberdaya alam. Tidak berhenti di situ, eksploitasi tambang timah akan memperluas kerusakan lingkungan, menambah korban jiwa, serta mempertajam konflik horizontal akibat fragmentasi masyarakat,” ucap Hafiz.
Hafiz menegaskan pentingnya mengevaluasi seluruh perizinan pertambangan timah dengan mengeluarkan kebijakan moratorium tambang. Selain itu, transformasi tata ruang yang berkeadilan dan berkelanjutan harus menjadi agenda utama sebagai upaya pemulihan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait