PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2018-2023), telah terjadi 11 kasus konflik agraria di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Babel, konflik tersebut melibatkan 11 perusahaan sawit dengan jumlah 25 desa terdampak.
Kasus ini, tersebar di Kabupaten Belitung, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Barat. Diperkirakan luas wilayah sengketa dengan perusahaan perkebunan sawit 3.770 Ha (hektare).
Salah satu penyebab terjadinya konflika graria di Babel, diduga kuat dampak dari ekspansi perusahaan sawit yang merambah wilayah kelola masyarakat setempat, seperti rimbak (hutan) kampong, belukar lame (kawasan pangan-berume), areal pengggunaan lain baik yang belum ataupun sudah memiliki alas hak dan wilayah adat.
Ketidakpatuhan perusahaan sawit menjalankan kewajiban Plasma dan Corporate Social Responsibility (CSR), disertai kebun sawit perusahaan yang diduga menyerobot lahan di luar HGU, semakin memperkeruh konflik agraria.
“Kami melihat, sebelum UU Cipta Kerja, konflik agraria sektor perkebunan ini masih dapat terfasilitasi oleh pemangku kebijakan di tingkat local meskipun tidak sepenuhnya terselesaikan. Namun, sejak UU Cipta Kerja diberlakukan, kewenangan beralih ke pusat dan penyelesaian menjadi berlarut,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Babel, Jessix Amundian dalam keterangan persnya, Selasa (29/8/2023).
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait