BANGKA, Lintasbabel.iNews.id - Nelayan Pangkal Niur punya cara cerdas inspiratif untuk melindungi perairan dan mangrove. Usaha budidaya kerang darah di pesisir pantai terbukti efektif menjauhkan aktifitas tambang timah dari lokasi tersebut.
Tambak Kerang Darah milik Mang Rustam di Desa Pangkal Niur, Kabupaten Bangka. Foto: Lintasbabel.iNews.id/ Joko Setyawanto.
Cerita keserakahan tambang timah sudah bukan barang baru di Bangka Belitung. Tidak ada satupun kawasan yang benar-benar bisa aman dari aksi penambangan baik legal maupun ilegal. Tidak sedikit kawasan konservasi dan hutan lindung sekalipun atau kawasan wisata maupun zona tangkap nelayan yang dirambah aktifitas penambangan.
Akibatnya berbagai insiden konflik kepentingan terutama antara nelayan pesisir dengan penambang acapkali mewarnai dinamika masyarakat yang dulunya sangat identik dengan budaya bahari dan agrikultur ini.
Sayangnya dalam banyak kasus, pengiat lingkungan, pengiat wisata, hingga nelayan, lebih sering menjadi pihak yang termarginalkan manakala ada kepentingan tambang timah mulai menjajakkan kaki ke kawasan eksisting nelayan, pariwisata, ataupun kawasan konservasi.
Dari sedikit kisah keberhasilan nelayan mempertahankan kawasan tangkap yang merupakan periuk nasi mereka, adalah Mang Rustam, seorang nelayan Desa Pangkal Niur, Kecamatn Riau Silip, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), punya cara menarik untuk melindungi kawasan mangrove di wilayahnya.
Pria berusia 58 tahun ini memilih membudidayakan kerang darah di pesisir Teluk Pelempah Sunor Lestari, tepat di depan gugusan pohon mangrove/bakau. Keberadaan tambak kerang darah ini seakan membentengi mangrove dikawasan tersebut dari ancaman pertambangan yang membabi buta.
Bermodalkan pengetahuan yang didapat dengan menyaksikan vdieo tehnik budidaya kerang darah yang didapat dari media sosial, Mang Rustam memberanikan diri membeli 6 ton benih kerang darah, membuka tambak seluas 2 hektar dan memulai budidaya kerang darah.
Butuh waktu satu tahun bagi Mang Rustam untuk dapat mulai menikmati kegigihan dan kerja kerasnya. Benih yang dulunya dibeli seukuran diameter 1 centimeter, kini sudah siap panen dengan ukuran sebesar ibu jari orang dewasa.
"Kalo dipanen serentak, berkisar 20 sampai 30 ton hasil panennya. Jika harga sedang bagus bisa sampe Rp15 ribu per kilo, maka bisa dapat hasil kotor antara 300 sampe 450 juta rupiah," kata Mang Rustam.
Uniknya, Mang Rustam tidak sekaligus memanen seluruh hasil budidayanya, tetapi memilih memanen secara bertahap dan menunggu moment saat harga sedang tinggi.
"Kerang darah ini banyak peminatnya, tapi kadang kalo datang kerang dari luar daerah, harganya jadi turun, makanya saya tunggu ketika pasokan dari luar nggak masuk, baru saya panen. Terakhir kemarin memanen 700 kg, bisa dapet harga Rp15 ribu per kg," kata Mang Rustam.
Disamping memiliki nilai bisnis dan ekonomis yang cukup menggiurkan, Mang Rustam sengaja menjadikan tambaknya sebagai benteng terapung untuk menjauhkan aktifitas tambang dari kawasan tersebut.
"Pernah ada orang yang sok-sokan menawarkan sejumlah uang agar bisa menambang dikawasan itu. Dia pikir kami bodoh mau menerima tawaran seperti itu sedangkan kami bisa jauh lebih sejahtera dan bisa hidup normal tanpa ada tambang disini," ujarnya.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait