Masa Lalu dan Masa Kini: Kurang Puaskah Kanda Berkader?

Joko Setyawanto
Arie Hidayat, Ketua Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi HMI Cabang Bangka Belitung Raya. Foto: Ist.

HIMPUNAN Mahasiswa Islam (HMI), organisasi ekstra kampus yang kini sudah memasuki fase seperempat abad ketiga atau 76 tahun tepatnya. Melahirkan berbagai jenis manusia yang mengisi peradaban negeri dan membangun narasi di berbagai posisi. Wakil presiden, menteri, hakim, anggota dewan, gubernur, bupati, kepala desa, dan lain sebagainya bahkan tak jarang pendiri pondok pesantren, alim ulama, serta akademisi dibesarkan oleh organisasi ini. 

Euforia yang luar biasa tatkala masuk perguruan tinggi kemudian berbincang dengan kader HMI berakhir 'tenggelam' di dalamnya. Bukan malah ingin pergi tapi bertahan dengan hasrat untuk menghidupi. Ya, kader sebagai citra organisasi dipandang mampu menunjukkan rasa kepedulian dalam membangun negeri melalui gerakan dan gagasan. Pada puncaknya ialah ridho Allah Subhanahu Wata’ala yang ingin di gapai atas terwujudnya tatanan masyarakat yang dicita-citakan. 

HMI masa lalu, bukan lagi HMI masa kini. Parameter keberhasilan di era sebelumnya tak dapat dijadikan patokan untuk mengukur keberhasilan HMI di masa sekarang. 

Romantisme yang senantiasa menjadi gaung bagi para alumni yang lebih dahulu hidup di organisasi ini seolah menjadi antitesis bahwa organisasi yang didirikan di Yogyakarta dua tahun pasca kemerdekaan Indonesia mundur dari yang mereka bayangkan. Pelik memang melihat keadaan seperti ini, lantas bagaimana sebaiknya?

Kader sebagai tulang punggung organisasi yang ditempa sedemikian rupa agar mampu memaksimalkan potensi diri pada setiap proses yang ia selami, dituntut untuk dapat memunculkan eksistensi secara kelembagaan. Teknologi yang berkembang kian pesat adalah sarana yang tepat dalam mempublikasikan keberadaan HMI kepada masyarakat yang tumbuh di lingkungan dunia maya.

Para alumni yang dahulu menghidupi organisasi, loyalis dan idealis -dalam ceritanya, namun tak tergambar jelas perbuatan hari ini- hidup dalam perkembangan teknologi yang luar biasa masif. Dari surat-menyurat, wartel, komputer, hingga android adalah fase yang mereka lewati. Organisasi tak lepas dari NDP (HMI DIPO) atau bahkan Khittah Perjuangan (HMI-MPO) yang dinilai relevan hingga saat ini sebagai paradigma gerakan HMI. 

Sejenak perlu kita renungi bersama, keberadaan organisasi ini apakah menghasilkan manfaat atau bahkan mudharat? Tahun 1986 menjadi titik awal perpecahan di tubuh organisasi yang bernafaskan Islam berkat adanya instruksi penggunaan Asas Tunggal Pancasila. Padahal Prof. Lafran Pane pernah berujar pada wawancara media kompas tahun 1983, "Lebih baik saya mengingatkan bahwa HMI adalah organisasi yang pertama kali menonjolkan kepentingan nasional, yaitu mempertahankan negara Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945. Dengan sendirinya meliputi pula pembukaan UUD 1945 dimana di dalamnya tercantum Pancasila.", namun apa daya egoisme Pengurus Besar berbuah perpecahan. Ada pihak yang yang tetap ingin konsisten dengan asas islam dan ada pihak yang keukeuh agar mengikuti aturan untuk merubah asas menjadi pancasila.

Keduanya tumbuh besar beriringan dengan perkembangan tatanan masyarakat, melebur dalam sistem membangun keberlangsungan negeri. Sampai kini tak ada yang mampu meng-islahkan keduanya, DIPO dan MPO hidup dalam perbedaan kasta yang luar biasa. Ketimpangan itu lebih banyak terjadi di daerah-daerah, mengkotak-kotakan organisasi. Sama-sama patut diakui, di ranah KAHMI tak ada istilahnya MPO-DIPO, namun proses perkaderan jelas membuktikan. Anak haram Orba-bagi mereka yang menerima asas tunggal- tumbuh besar dengan kedayatahanan tanpa mengharap alumni untuk turun tangan.

Lucunya hari ini, menyorot satu wilayah para alumni yang tergabung dalam Institusi KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) berkomitmen untuk mengembalikan HMI kepada yang seharusnya. HMI yang baru saja datang (sebut saja MPO) harus kembali lagi ke HMI pada awalnya (di wilayah tersebut). Iming-iming yang sangat menggiurkan, ditawari posisi satu oleh lembaga bentukan HMI yang sudah seharusnya tak lagi menyoroti perbedaan keduanya tapi menjadi topik utama dalam setiap wacana. Namun, bukan itu yang harus ditawarkan kepada kader yang dengan segenap hati menghidupi organisasi, tapi ialah proses yang akan menentukan jati diri. Wajar jika yang duduk tak pernah selesai berkader, jadi masih senang mengintervensi kader. Masih kurang puaskah kanda-kanda ini ber-HMI? 

KAHMI secara kelembagaan seharusnya menjadi panutan bagi lembaga lain yang setingkat dengannya. Secara individu para alumni sebaiknya tak lagi mengurusi internal HMI karena bukan masanya lagi. Tapi, mendorong kader yang sedang menikmati proses untuk tetap bertahan menjaga stabilitas organisasi. Begitulah hemat penulis menyikapi kondisi terkini. 

Sesekali alumni perlu 'disentil', jika purna proses berkadernya maka ia mampu memahami makna pasal 4 Anggaran Dasar HMI. Jika tuntas dalam memahami NDP atau Khittah Perjuangan, maka kesimpulannya hanya satu yaitu terwujudnya masyarakat yang baldhatun toyyibatun wa rabbun ghafur.

Sekilas, tulisan ini dibuat bukan untuk bermaksud iri-irian. Tak ada sedikitpun terbersit keluh karena hidup tanpa belas kasihan. Parameter yang sesungguhnya adalah bagaimana perjuangan para pendiri untuk tetap menyelamatkan HMI dari berbagai tekanan pihak luar, bukan malah asik membangun konflik di internal. Bukan pula karena tak kebagian roti, tapi kader HMI selalu dituntut mampu membangun pola pikir mandiri.

 

Editor : Muri Setiawan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network