SOSIOLOGI Hukum merupakan cabang dari Ilmu Pengetahuan sosial yang mempelajari hukum dalam konteks sosial. Sosiologi Hukum membahas tentang hubungan antara masyarakat dan hukum, mempelajari secara analitis dan empiris pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya. Sosiologi hukum saat ini sedang berkembang pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku, artinya isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor kemasyarakatan. Sosiologi Hukum juga bertugas mengungkapkan sebab atau latar belakang timbulnya ketimpangan antara tata tertib masyarakat yang dicita-citakan dengan keadaan masyarakat yang ada di dalam kenyataan.
Parlemen adalah sebuah badan legislatif, khususnya di negara-negara yang sistem pemerintahannya berdasarkan sistem Westminster dari Britania Raya. Badan legislatif yang disebut parlemen, dilaksanakan oleh sebuah pemerintah dengan sistem parlementer, dimana eksekutif secara konstitusional bertanggungjawab kepada parlemen. Hal ini dapat dibandingkan dengan sistem presidensial, dimana legislatif tidak dapat memilih atau memecat kepala pemerintahan, dan sebaliknya eksekutif tidak dapat membubarkan parlemen. Parlemen dapat terdiri atas beberapa kamar atau majelis, dan biasanya berbentuk unikameral atau bikameral, meskipun terdapat beberapa model yang lebih rumit.
Dalam sistem demokrasi modern, parlemen merupakan badan yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu untuk menyuarakan kepentingan rakyat serta bertugas, antara lain untuk membuat undang-undang dan mengawasi pemerintah.
Di Indonesia, lembaga parlemen dapat dirunut sejak zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dengan terbentuknya lembaga Volksraad tahun 1918. Kemudian pada masa awal kemerdekaan, lembaga parlemen diwakili oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Periode KNIP berlangsung sejak 29 Agustus 1945 hingga 15 Februari 1950. Setelah itu, lembaga parlemen masuk periode DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (RIS), yaitu 15 Februari 1950 – 16 Agustus 1950.
Selanjutnya, selama periode 16 Agustus 1950 – 26 Maret 1956, parlemen Indonesia terdiri atas DPRS dan MPRS. Setelah pemilu pertama tahun 1955, nama lembaga parlemen kembali menjadi DPR hingga Dekrit Presiden 1959. Setelah Dekrit Presiden yang kembali menggunakan konstitusi UUD 1945, Presiden menggunakan kewenangannya, membubarkan DPR dan kemudian memilih dan mengangkat anggota parlemen baru dalam wadah DPR Gotong-Royong. Lembaga parlemen itu menjalankan tugasnya hingga periode akhir rezim Orde Lama dan awal Orde Baru.
Ambang batas parlemen adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.
Menurut Kacung Marijan, yang dimaksud ambang batas parlemen adalah batas minimal suatu partai atau orang untuk memperoleh kursi (wakil) di parlemen. Maksudnya, agar orang atau partai itu mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil karena mendapat kekuatan memadai di lembaga perwakilan. Dalam sistem ambang batas parlemen, calon yang diberikan mandat untuk mewakili suara rakyat haruslah mengerti hukum dan undang-undang sehingga dalam memahami kedua hal tersebut harus menjadi sosok yang dapat dijadikan sebagai wakil rakyat.
Kebijakan pembentuk undang-undang dalam rangka penyederhanaan partai politik ini dikenal dengan istilah Parlementary threshold (kebijakan ambang batas parlemen). Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, merupakan salah satu instrumen teknis pemilu yang ditemui dalam negara-negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional, termasuk di Indonesia Electoral Threshold berkenaan dengan pembatasan kesempatan partai politik untuk ikut serta dalam kostestasi pemilu selanjutnya, Maka Parlementary threshold berkenaan dengan persyaratan ambang batas sebagai hak bagi partai politik peraih suara dalam pemilu untuk mendudukan wakilnya sebagai anggota DPR/DPRD. Dengan pengertian lain, Parlementary Threshold adalah bentuk pembatasan kesempatan terhadap partai politik peraih suara dalam pemilu untuk dapat mendudukan wakilnya sebagai anggota DPR/DPRD berdasarkan ambang batas tertentu.
Ketentuan berkaitan dengan Parliamentary Threshold dapat berubah dinamis tergantung pada kondisi masyarakat dan kesepakatan di tingkat parlemen. Perubahan dan sifat dinamis dari kebijakan terkait ambang batas parlemen tersebut dikarenakan penerapan Parliamentary Threshold memiliki tujuan tertentu. Biasanya tujuan penerapan Parliamentary Threshold bergantung pada kebutuhan masing-masing negara.
Pengaturan dalam rangka penyederhanaan partai politik pada hakikatnya harus mengandung karakter yuridis yang mencerminkan prinsip penghormatan terhadap HAM dan demokrasi. Oleh karena itu pengaturan penyederhaan partai politik disini tidak boleh bersifat intervensi langsung, terlebih dengan cara yang dipaksakan. Negara wajib melakukan pengaturan agar pendirian partai politik tidak dimotivasi oleh kepentingan politik sempit dan kepentingan politik jangka pendek, karena jika hal itu dibiarkan maka potensial menimbulkan penyalahgunaan hak/ kebebasan berserikat.
Electoral Threshold adalah persentase perolehan suara tertentu yang dijadikan prasyarat untuk ikut pemilu yang akan datang. Praktis, pengurangan partai dilakukan oleh penyelenggara pemilu, bukan oleh pemilih. Berbeda dengan Parliamentary Threshold, persentase perolehan suara untuk bisa memperoleh suara di kursi parlemen pada pemilu yang bersangkutan. Partai bisa selalu menjadi kontestan pemilu tapi jika tidak melampaui Parliamentary Threshold otomatis tidak memperoleh kursi. **)
Penulis: Viona Marvella, Mahasiswa FH UBB
Editor : Muri Setiawan