Jualan Agama: Manipulasi atas Iman

PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Agama seharusnya menjadi pedoman hidup yang membawa kedamaian, kejujuran, dan kebaikan bagi umat manusia. Namun, dalam realitas sosial, ada pihak-pihak yang menjadikan agama sebagai komoditas untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Fenomena ini sering disebut sebagai “jualan agama,” di mana nilai-nilai spiritual digunakan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan finansial, kekuasaan, atau pengaruh. Praktik ini bukan hanya merusak esensi agama itu sendiri, tetapi juga memanipulasi iman masyarakat yang tulus dalam keyakinannya.
Dalam berbagai konteks, manipulasi agama dapat ditemukan dalam bentuk komersialisasi ajaran, eksploitasi kepercayaan umat, hingga penyalahgunaan otoritas spiritual demi kepentingan duniawi. Banyak orang yang dengan mudah terpengaruh karena mereka percaya bahwa tokoh agama atau institusi keagamaan selalu memiliki niat baik dan tidak mungkin menyesatkan. Namun, sejarah telah mencatat banyak kasus di mana agama digunakan sebagai alat untuk menipu, mengendalikan, bahkan menindas orang lain. (Bevan Fabian, 2024).
Opini ini akan membahas bagaimana praktik jualan agama terjadi, apa dampaknya terhadap masyarakat, dan bagaimana kita bisa menghadapinya agar tidak terjebak dalam manipulasi atas iman.
Dalam konteks hukum positif Indonesia, terdapat pula ketentuan yang melarang penyalahgunaan agama untuk kepentingan tertentu. Misalnya, Pasal 156 KUHP dan Pasal 157 KUHP mengatur tentang larangan penyebaran ajaran atau tindakan yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan antar umat beragama. Lebih lanjut, Undang-Undang No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama secara khusus mengatur pencegahan terhadap praktik-praktik yang menyalahgunakan agama, termasuk memperjualbelikan ajaran atau simbol-simbol agama untuk kepentingan yang tidak semestinya. ( KUHP, 2023).
Kasus aktual: Dugaan penyalahgunaan agama untuk kepentingan pribadi
Seorang tokoh masyarakat bernama Yusuf Mansur dikenal aktif dimedia sosial. Ia sesekali menanggapi warganet. Terkini, dia memberikan tanggapan usai dituduh jual agama demi memperkaya diri. Berusaha bersikap tenang, Ustadz Yusuf Mansur hanya ingin membalasnya dengan doa. Ulama 44 tahun ini juga sekaligus mengavaluasi diri apabila ada kesalahan dalam dirinya.
“Respon terbailk., doa. Doain aja. Itu kan nasihat buat saya dan kami juga. Asyik aja, good,” tulis ustadz Yusuf Mansur dalam pesan yang diunggah di Instagram, Minggu (30/5/2021).
“ini teguran juga, pengingat agar jangan sampe jualan surga,” katanya lagi.
Ustadz Yusuf Mansur menuturkan, ketimbang jualan surga, ada baiknya ia berbisnis dibidang lain.
“Jualan paytren, treninet aja, jualan cluster, sebentar lagi jualan perumahan. Insya Allah jualan dulu, jualan lagi, jualan terus. Secara jualan adalah ibadah dan amal saleh. Setuju?” ujarnya.
Ustadz Yusuf Mansur kemudian menitikberatkan kalimat, “jangan sampe jualan surga, tapi memasarkan surga.”
Inilah yang dilakukan Ustadz Yusuf Mansur selama ini melalui ceramahnya.
“Marketing surga biar orang-orang berikhtiar menuju surga. Ini namanya dakwah. Oke, salam buat keluarga,” terang ayah Wirdah Mansur ini.
Ustadz Yusuf Mansur juga menambahkan dalam captionnya untuk selalu membersihkan hati. (harian jogja,2021)
Seperti yang telah di sampaikan dalam kutipan berita di atas kasus yang melibatkan ustad Yusuf mansur berawal dari tuduhan warganet bahwa beliau dianggap “menjual agama “ demi kepentingan pribadi untuk memperkaya diri.
Kasus ini menunjukkan bagaimana persepsi publik bisa menilai tindakan seorang tokoh agama sebagai "jual agama", meskipun secara hukum tindakan tersebut belum tentu memenuhi unsur penyalahgunaan agama sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU No. 1 Tahun 1965. Penting bagi setiap tokoh masyarakat untuk berhati-hati agar aktivitas dakwah atau bisnisnya tidak melanggar hukum dan tidak mencampuradukkan ajaran agama dengan kepentingan pribadi secara tidak pantas, karena hal ini dapat memicu salah paham di masyarakat.
Bentuk-Bentuk Jualan Agama
Jualan agama dapat muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada situasi dan kepentingan pihak yang terlibat. Beberapa bentuk umum yang sering terjadi antara lain:
•Komersialisasi Ritual dan Ibadah
Banyak praktik ibadah yang seharusnya dilakukan dengan niat suci berubah menjadi ajang bisnis. Misalnya, ada kasus di mana seseorang harus membayar mahal untuk mendapatkan “doa khusus” dari pemuka agama, membeli air suci yang dijanjikan membawa keberuntungan, atau mengikuti seminar keagamaan dengan tarif tinggi. Padahal, dalam ajaran agama yang murni, ibadah dan doa seharusnya dilakukan dengan keikhlasan tanpa perlu embel-embel biaya.
• Jualan Jaminan Surga atau Keselamatan
Ada kelompok atau individu yang menjanjikan keselamatan akhirat hanya jika seseorang mengikuti ajaran mereka secara mutlak, sering kali dengan membayar sejumlah uang atau memberikan sumbangan besar. Ini menciptakan ilusi bahwa surga dapat dibeli, padahal dalam banyak ajaran agama, keselamatan adalah hasil dari amal perbuatan yang ikhlas, bukan transaksi komersial.
• Eksploitasi Kepercayaan Umat untuk Kepentingan Politik
Banyak pemimpin atau tokoh agama yang menggunakan agama sebagai alat politik. Mereka memanipulasi ayat-ayat suci untuk mendukung agenda mereka, membangun pengaruh di masyarakat, atau bahkan menyerang lawan politik dengan dalih agama. Ini bukan hanya merusak makna spiritualitas, tetapi juga menciptakan perpecahan sosial
• Penyelewengan Dana Keagamaan
Lembaga keagamaan sering kali menerima sumbangan dari umat dengan alasan untuk kepentingan dakwah, pembangunan rumah ibadah, atau membantu kaum miskin. Namun, tidak sedikit kasus di mana dana ini justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi pemimpin agama atau elite tertentu.
Dampak Manipulasi Agama terhadap Masyarakat
Fenomena jualan agama memiliki dampak yang luas, baik secara sosial, psikologis, maupun spiritual.
• Merosotnya Kepercayaan terhadap Institusi Keagamaan
Ketika umat mulai menyadari bahwa agama sering digunakan sebagai alat manipulasi, mereka bisa kehilangan kepercayaan terhadap institusi agama itu sendiri. Ini berbahaya karena bisa memicu peningkatan skeptisisme terhadap ajaran agama yang sejati.
• Ketergantungan Buta pada Pemuka Agama
Banyak orang yang terjebak dalam manipulasi karena mereka tidak berani mempertanyakan otoritas pemuka agama. Akibatnya, mereka dengan mudah dikendalikan dan dieksploitasi tanpa menyadari bahwa mereka sedang dimanfaatkan.
• Perpecahan Sosial dan Konflik
Penggunaan agama untuk kepentingan politik atau bisnis sering kali menciptakan perpecahan di masyarakat. Umat yang berbeda pandangan bisa saling bermusuhan karena merasa keyakinan mereka yang paling benar.
• Penyalahgunaan Dana dan Kemiskinan yang Berlanjut
Ketika dana keagamaan disalahgunakan, orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan tidak mendapatkan manfaatnya. Sementara itu, umat terus diminta untuk menyumbang tanpa ada transparansi mengenai penggunaan dana tersebut.
Cara Menghadapi Manipulasi Agama
Agar tidak mudah terjebak dalam praktik jualan agama, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh individu dan masyarakat:
• Pendidikan dan Literasi Keagamaan
Umat harus di didik agar memahami ajaran agama mereka secara mendalam, bukan hanya berdasarkan kata-kata pemuka agama tertentu. Dengan pemahaman yang baik, mereka tidak mudah dimanipulasi.
• Kritis terhadap Otoritas Keagamaan
Tidak semua pemuka agama memiliki niat yang murni. Oleh karena itu, penting bagi umat untuk selalu berpikir kritis dan tidak menerima segala pernyataan begitu saja tanpa analisis.
• Mendorong Transparansi dalam Pengelolaan Dana Keagamaan
Setiap institusi keagamaan harus memiliki sistem transparansi dalam pengelolaan dana yang mereka terima dari umat. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan dana.
• Menjaga Keimanan dengan Kesadaran Diri
Iman yang kuat tidak bisa dibangun dengan membeli doa atau mengikuti ajaran secara membabi buta. Setiap individu harus mencari kebenaran dengan cara yang jujur dan reflektif.
Hadist yang Menjelaskan Jualan Agama
A. Al-Quran
• Surah Al-Baqarah Ayat 41
وَعَامِنُوا بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرُ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِايَتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِنِّي فَاتَّقُونِ
Artinya :
“Dan berimanlah kami kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu, dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama-tama kafir kepadanya. Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah dan hanya kepada-Ku-lah kamu haus bertakwa”
Surat Al-Baqarah ayat 41 mengimbau Ahli Kitab agar tidak menjadi orang pertama yang mengingkari Al-Qur’an karena generasi mereka berikutnya akan mengikuti kekufuran mereka. Sedangkan dosa kufur generasi berikutnya juga menjadi tanggungan mereka. (Alhafiz Kurniawan, 2021)
B. Hadist Nabi Muhammad SAW
• Hadist tentang Menjual Agama untuk Dunia
بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
(HR. Muslim No. 118)
Artinya:
“Segeralah beramal sebelum datang fitnah seperti potongan malam yang gelap. Seseorang di pagi hari dalam keadaan beriman, namun di sore hari ia menjadi kafir. Dan seseorang di sore hari dalam keadaan beriman, namun di pagi hari ia menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi keuntungan dunia.”
Hadis ini mengingatkan bahwa duniawi itu fana dan sementara, sedangkan akhirat itu kekal dan abadi. Peringatan agar umat Islam berhati-hati terhadap godaan duniawi dan tidak mengorbankan agamanya demi keuntungan dunia yang sesaat. Hadis ini juga menjadi pengingat bahwa amal shalih adalah benteng terbaik untuk menghadapi fitnah dan menjaga keimanan. Kita harus selalu bersemangat dalam beragama dan berhati-hati terhadap kesenangan dunia, karena dunia dapat membalikkan agama seorang hamba, juga dapat memalingkan kepada selainnya, dan kepada selain beribadah kepada Tuhannya. Masuk dan terjebak dalam kubangan fitnah akan melemakan amal shaleh. (Cepi Hamdan Rafiq, 2021)
Jualan agama adalah bentuk manipulasi atas iman yang merusak makna spiritualitas sejati. Fenomena ini muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari komersialisasi ibadah, penjualan jaminan surga, eksploitasi politik, hingga penyelewengan dana keagamaan. Dampaknya bisa sangat merusak, baik secara sosial maupun individu, karena menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap agama, ketergantungan buta pada pemuka agama, dan bahkan konflik dalam masyarakat.
Untuk melawan praktik ini, umat harus memiliki pemahaman agama yang lebih baik, berpikir kritis terhadap otoritas keagamaan, dan menuntut transparansi dalam pengelolaan dana keagamaan. Dengan demikian, agama bisa kembali ke esensi sejatinya—sebagai pedoman moral dan spiritual yang membawa kebaikan bagi semua, bukan sekadar alat untuk kepentingan duniawi segelintir pihak.
Jika tidak ada kesadaran dan langkah konkret untuk menghadapi manipulasi agama, maka iman akan terus menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh mereka yang hanya mengejar keuntungan. Oleh karena itu, setiap individu harus menjadi lebih bijak dalam memahami dan menjalankan keyakinannya, agar tidak terjebak dalam jebakan jualan agama.
Artikel ini dibuat oleh:
Rizki Annisa, Fatya Tarisya Adha, Nariesa Adini, Valendra Putra Setiawan, M. Sopian Wardana, Yoga Adi Pratama, Shinta Lestari Oktarini. (Mahasiswa Fakultas Hukum,
Editor : Muri Setiawan