PANGKALPINANG, lintasbabel.id - Menteri Kebijakan Nasional Republik Chechnya, Akhmed Dudaev akhirnya mengungkapkan alasan pihaknya bersekutu dengan Rusia untuk menyerang Ukraina. Dendam terhadap negara-negara barat dan ancaman serangan asing, membuat pemimpin Chechnya memilih untuk mendahului musuh.
Walaupun tidak terlalu mengejutkan karena Presiden Chechnya Ramzan Kadirov merupakan sekutu dekat dan berada dibawah kendali Putin, keterlibatan penuh pasukan Chechnya dalam invasi Rusia ke Ukraina cukup sulit dipahami.
Pasalnya, kedua negara pernah beberapa kali terlibat perang, atau lebih tepatnya pembantaian, dimana Chechnya selalu menjadi objek penderita.
Sejarah pembantaian rakyat Chechnya pertama kali terjadi dimasa perang dunia kedua tepatnya tahun 1944. Rezim Stalin membantai sepertiga dari populasi Chechnya saat dalam perjalanan menuju tempat pengasingan di Kazakhstan karena dituduh bersekongkol dengan Nazi Jerman.
Pasca runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, beberapa wilayah termasuk Chechnya memproklamirkan kemerdekaan. Tahun 1994 presiden Rusia Boris Yeltsin melancarkan serangan yang baru berakhir pada Desember 1996.
Sedikitnya 100 ribu korban jiwa dipihak pejuang dan warga sipil Chechnya dalam peristiwa yang dikenal dengan Perang Chechnya I.
Terakhir pada tahun 1999, presiden Vladimir Putin melancarkan serangan cepat dan berhasil menahlukkan Chechnya dalam perang Chechnya II yang menjadikan Chechnya kembali berada dibawah kendali Moscow, sekalipun berstatus negara merdeka berbentuk republik.
Untuk mempertegas pengaruhnya di Chechnya, Putin menunjuk Ramzan Kadirov sebagai pemimpin Chechnya.
Walaupun secara de fakto berada dibawah kendali Rusia, Chechnya mengaku punya alasan khusus untuk melibatkan diri dalam invasi ke Ukraina. Chechnya menuding negara-negara eropa barat lah yang telah memicu perang dimasa lalu antara Chechnya dengan federasi Rusia.
Keinginan Ukraina menjadi anggota pakta pertahanan atlantik utara (NATO), dinilai sebagai sebuah ancaman terhadap bangsa Chechnya dan Federasi Rusia, karena akan ada begitu banyak penempatan persenjataan dan personil militer NATO dengan dalih melindungi negara anggotanya.
Menurut Menteri Kebijakan Nasional Republik Chechnya, Akhmed Dudaev, operasi militer khusus terhadap Ukraina harus dilakukan untuk melindungi pertahanan dan keamanan kawasan, terutama teritorial bangsa Chechnya.
"Semua orang di Republik Chechnya memahami seperti yang saya katakan, tahu benar apa tujuan prajurit kami bertarung, bahwa operasi khusus di Ukraina adalah upaya pertahanan. Karena jika operasi khusus tidak dilancarkan sekarang, kami akan hidup dengan moncong senjata dikepala. Maksud saya, diperbatasan negara, kami menghadapi begitu banyak penempatan senjata offensif dan defensif," kata Dudaev.
Dudaev mengaku bahwa bangsa Chechnya menyimpan dendam karena telah diperalat untuk memerangi Rusia, sehingga jatuh korban yang begitu besar dipihaknya.
"Kita melihat dan pernah mengalaminya, semua hal menakutkan bagi rakyat biasa, warga sipil, dibunuh atau ditangkap. Rakyat kami, republik kami telah dimanfaatkan oleh negara-negara barat, sebut saja demikian, untuk menentang federasi Rusia. Tanah kami, rakyat kami dimanfaatkan untuk menghancurkan Rusia. Kami kehilangan sekitar 300.000 orang dalam perjuangan ini," ujar Dudaev.
Ditambahkan Dudaev, pengalaman masa lalu membuat militer Chechnya tumbuh kuat dan pesat, memiliki kemampuan teoritis dan ditempa oleh praktek pertempuran yamg telah disempurnakan dengan pelatihan hebat sebagai bagian dari pendidikan pasukan khusus Rusia.
Dengan segala kemampuan tempur yang didapat berkat bantuan Rusia, tentu bukan masalah bagi militer Chechnya untuk memenuhi panggilan tugas, termasuk terlibat dalam operasi militer khusus ke Ukraina.
Editor : Haryanto