PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kepulauan Bangka Belitung menyebutkan negara dalam delusi menyelesaikan kasus korupsi tata niaga timah yang menyebabkan kerugian hingga Rp300 Triliun. Menurut Walhi Kepulauan Bangka Belitung, ekologi menjadi korban utama dari kasus korupsi tata niaga timah, sebab akumulasi kerugian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal mencapai angka yang fantastis.
Dengan luas daratan mencapai 1,6 juta hektare, dalam kurun waktu enam tahun (2014-2020), Kepulauan Bangka Belitung telah kehilangan hutan tropis seluas 460.000 hektare.
Kehancuran Ekosistem Sungai dan Mangrove Pemulihan ekologi serta jaminan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan berkelanjutan menjadi syarat wajib pertanggungjawaban dari kasus korupsi tata niaga timah di Kepulauan Bangka Belitung. Eksploitasi pertambangan timah menyebabkan angka lahan kritis di Bangka Belitung kian bertambah, dimana tercatat oleh DLH Provinsi Bangka Belitung tahun 2022 mencapai 167.104 Ha dari total 1.668.933 Ha hutan dan lahan.
“Hancurnya ekologi akibat kasus korupsi pertambangan timah di kawasan hutan maupun luar kawasan ini seharusnya ditangani oleh multi stakeholder pemerintahan. Hingga saat ini belum ada sinyal untuk memulihkan ekologi Kepulauan Bangka Belitung yang rusak akibat masifnya eksploitasi pertambangan timah. Bahkan penetrasi tambang terus meluas hingga merusak ekosistem pesisir dan laut,” kata Ahmad Subhan Hafiz, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (27/8/2024).
Ancaman Bencana Ekologis di Masa Depan
Kerusakan lanskap daratan Kepulauan Bangka Belitung, mendorong terjadinya sejumlah bencana alam, mulai dari kekeringan, longsor, hingga banjir. Diantara itu, yang tidak terlupakan tentunya kejadian pada tahun 2015, dimana Pulau Bangka mengalami kemarau panjang hingga lima bulan (Juni – Oktober).
Setahun kemudian, 2016, banjir besar menerpa Bangka Belitung. Hampir seluruh wilayah di Bangka Belitung terdampak, akses jalan lintas kabupaten terputus, air merendam ratusan bahkan ribuan rumah masyarakat.
Hingga saat ini, peristiwa bencana terus menghantui Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini didukung juga oleh analisis BPBD di tahun 2020, terkait potensi bahaya yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dari 11 ancaman, bencana tanah longsor, banjir serta kekeringan, masuk dalam kategori resiko tinggi. Pada tahun 2023, BPBD mencatat ada 1.084 bencana terjadi di Babel.
“Semuanya diperparah dengan krisis iklim yang semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat global. Khusus di Bangka Belitung, proses eksploitasi di daratan terutama pertambangan timah telah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan bencana serta laju degradasi lingkungan dalam angka yang mengkhawatirkan," kata Hafiz.
Korban Jiwa
Tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, aktivitas penambangan juga terus memakan korban. Walhi Kepulauan Bangka Belitung mencatat sepanjang 2021-2024, ada 38 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang, dan 22 orang mengalami luka-luka.
Selain itu, ribuan kolong yang belum di reklamasi terus memakan korban. Sepanjang tahun 2021-2024, tercatat ada 22 kasus tenggelam di kolong. Dari 16 korban yang meninggal dunia, 13 diantaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
“Kerusakan lingkungan pada kantung-kantung habitat buaya muara akibat tambang juga mempertajam konflik antara buaya dan manusia. Selama tiga tahun terakhir ada total 28 serangan buaya. Hal ini menyebabkan 15 orang meninggal dunia dan 13 orang luka-luka," ucap Hafiz.
Rekomendasi
Dari berbagai persoalan lingkungan di atas, Walhi Kepulauan Bangka Belitung memberikan dua pendekatan untuk menyelamatkan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung.
Pertama, dikembalikan dan dipulihkan lanskap adat yang selama ini dikelola masyarakat adat. Kedua, pemerintah (pusat dan daerah) melahirkan sejumlah kebijakan yang benar-benar melindungi wilayah darat dan laut, seperti moratorium izin, penegakan hukum lingkungan, dan pemulihan berbasis kearifan lokal.
“Kejagung juga harus memberikan transparansi terkait lanskap yang rusak akibat korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung. Sehingga dalam proses penegakan hukum kasus korupsi ini juga berkonstribusi terhadap pemulihan lingkungan dan masyarakat terdampak. Tanpa tanggungjawab tersebut, penyelesaian kasus korupsi timah hanya delusi negara," ujarnya.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait