Mengintip Implikasi Mega Korupsi Proyek Tambang Timah Terhadap Laju Ekonomi dan Potensi Kriminalitas
PERHATIA lebih dititik beratkan pada angka kerugian yang dialami oleh negara dari terungkapnya praktik korupsi tata niaga pertambangan timah di provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan jumlah angka Rp271 Triliun, yang sejauh ini sudah terungkap beberapa tersangka dari berbagai kalangan baik dari unsur direksi perusahaan, pengusaha, tokoh publik, maupun aktor/aktris.
Kerugian 271 T merupakan angka yang dihitung oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof. Bambang Hero Saharjo yang mengungkapkan total kerugian akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pada perkara korupsi tata niaga timah di Kepulauan Bangka Belitung.
Disebutkan bahwa dari tujuh kabupaten di Provinsi Bangka Belitung terdapat IUP di darat seluas 349.653,574 hektare. Sementara data luas galian tambang di tujuh kabupaten itu totalnya 170.363,064 hektare.
Di lain sisi diungkapkan pula dari total 170.363,064 hektare luas galian tambang di tujuh kabupaten di Provinsi Bangka Belitung tersebut, sekitar 75.345,751 hektare berada di dalam kawasan hutan dan 95.017,313 hektare berada di luar kawasan hutan, dari 75.345,751 hektare luas galian dalam kawasan hutan terdiri atas 13.875,295 hektare berada di hutan lindung, 59.847,252 hektare di hutan produksi tetap, 77,830 hektare di hutan produksi yang dapat dikonversi, dan 1.238,917 hektare di taman hutan raya, bahkan di taman nasional pun ada dengan total 306,456 hektare, dengan demikian sangat terasa akan penyempitan ruang hidup di kalangan masyarakat.
Kasus korupsi tata niaga timah ini banyak menimbulkan kehebohan dan kecaman dari berbagai sudut di publik, khususnya masyarakat Kepulauan Bangka Belitung. Dalam konteks ini, penting untuk melihat lebih dalam tentang bagaimana kasus ini terjadi, apa implikasinya bagi masyarakat dan negara.
Dalam kasus ini menjadi sorotan serius pada sistem pengelolaan sumber daya alam Indonesia, mengingat timah sebagai salah satu komoditas unggulan Indonesia seharusnya dikelola dengan baik untuk kepentingan negara dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Namun, dengan adanya praktik korupsi seperti ini, sumber daya alam tersebut dimanfaatkan secara tidak berkelanjutan dan merugikan negara serta lingkungan yang mengakibatkan efek domino pada masyarakat.
Jika kita mengacu pada pertumbuhan ekonomi berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) mencatat pertumbuhan ekonomi Babel dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bangka Belitung triwulan I 2024 tumbuh 1,01% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,00% (yoy).
Hal tersebut bisa dilihat di lapangan bahwa para pelaku usaha UMKM sangat kurang bergairah lantaran dampak dari lesunya daya beli masyarakat, belum lagi fenomena ini telah mempengaruhi pendapatan mereka secara signifikan dengan omset yang menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan lemahnya laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selaras pula dengan masifnya kriminalitas yang terjadi, semisalnya beberapa waktu terakhir dilihat dari masifnya pemberitaan di media online mengenai pencurian, perkelahian bahkan sampai ada yang melakukan pembunuhan, sehingga hal tersebut dinilai terjadi akibat dari rendahnya angka pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung.
Banyaknya masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya yang menjadi dampak dari berlangsungnya proyek mega korupsi ini dinilai menjadi pemicu untuk terjadinya tindak kriminalitas, di saat faktor ekonomi terganggu sementara kebutuhan primer harus tetap terpenuhi seperti kebutuhan makan sehari-hari ditambah lagi dengan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan lain-lain maka memungkinkan seseorang untuk mengambil jalan pintas melakukan kejahatan di saat merasa tidak ada jalan keluar lain, belum lagi pasca terungkapnya kasus proyek mega korupsi tambang timah gelombang PHK yang begitu masif, mengakibatkan penghasilan beberapa masyarakat tidak ada, sementara ada beban tanggungan ekonomi yang dimiliki. Maka tindak kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan lebih dominan terjadi.
Dengan demikian persoalan yang serius ini seharusnya segera ditangani oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk dapat melakukan evaluasi besar-besaran dalam upaya perbaikan untuk mengatasi hal tersebut, dengan melakukan kajian secara komprehensif sebagai dasar untuk merumuskan RPJMD Bangka Belitung, dan tetap pada komitmen penyelesaian yang dilakukan secara terukur dan terstruktur tanpa harus ada pihak yang dirugikan, megingat kondisi yang terjadi hari ini membuat kita seharusnya bisa sadar bahwa masyarakat Bangka Belitung seakan-akan hidup seperti turis yang terasa termarjinalkan dibumi luhurnya sendiri. Dengan banyaknya kekayaan alam yang dianugerahkan oleh tuhan yang Maha Esa, sewajarnya masyarakat Bangka Belitung bisa hidup dengan sejahtera. **)
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait