Temuan TII dan beberapa lembaga survei international ini adalah cermin dari realitas obyektif. Tidaklah mengherankan menyaksikan kentalnya konflik kepentingan antara eksekutif dan yudikatif dalam drama lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Tidaklah mengherankan membaui aroma indikasi korupsi kekuasaan oknum aparat negara dalam bentuk intimidasi terselubung terhadap lawan politik dan kelompok kritis seperti mahasiswa. Dan pada saat bersamaan oknum aparat terkesan memberikan dukungan kepada calon pemimpin yang didukung penguasa. Kekuasaan dinilai telah diselewengkan secara curang sehingga mencederai rasa keadilan.
Korupsi di Indonesia sudah berlangsung secara struktural, dari pimpinan tertinggi hingga kepala desa. Berlangsung secara massif, dari lingkaran Istana hingga pelosok desa. Seperti kata pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari, bawahan meniru total perilaku dan praktek atasannya. Fenomena korupsi menjadi hal biasa, lambat laun membentuk budaya, dan kelak bisa membentuk peradaban baru.
Haruskah kita skeptis, berdiam diri saja menyaksikkan munculnya Hydra di negara yang kita cintai ini? Skeptis bukan pilihan, begitu pula diam. Masih ada harapan untuk memperbaiki itu semua melalui pilihan politik 14 Februari 2024. Jangan kita pilih capres-cawapres yang lahir dari korupsi kekuasaan, dari kongkalikong jahat elite eksekutif, partai politik dan yudikatif.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait