BANGKA SELATAN, Lintasbabel.iNews.id - Kawasan Hutan Produksi (HP) di 4 Desa di Kabupaten Bangka Selatan (Basel) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), bakal dibuka untuk Kebun Sawit baru secara besar-besaran, oleh oknum pengusaha. Kawasan HP yang bakal dibuka perkebunan sawit baru tersebut, berada di wilayah Desa Bencah, Tepus, Jeriji dan Kepoh.
Aktivitas rencana pembukaan lahan diduga dalam Kawasan Hutan Produksi untuk perkebunan sawit di Desa Bencah Kecamatan Airgegas beberapa waktu lalu sempat ricuh dan ditolak warga.
Tak hanya itu, Berdasarkan penulusuran yang dilakukan awak media, Kebun Sawit di Kawasan hutan desa Tepus oleh oknum pengusaha saat ini justeru sudah ada yang memasuki usia panen. Sedangkan di Kawasan Hutan produksi di Desa Bencah, Jeriji, dan Kepoh juga bakal ditanami Sawit baru oleh oknum pengusaha.
Menyikapi kondisi tersebut, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Bangka Selatan Yopi Jamhar meminta Oknum Pengusaha untuk menaati aturan.
Menurut Yopi, Pengusaha yang ingin memanfaatkan kawasan hutan untuk lahan perkebunan sawit harus memahami regulasi pemanfaatan kawasan hutan yang telah diatur oleh pemerintah.
"Jangan terkesan main kucing-kucingan, ikuti regulasinya. kalau memang bisa dilakukan secara legal urus dong perijinannya agar negara dan daerah tidak dirugikan. kan bisa menghasilkan pendapatan negara dan daerah," katanya, Sabtu (18/3/2023).
Lebih lanjut ia mengatakan, pembukaan kebun sawit secara besar-besaran di kawasan hutan bisa mengancam ketersediaan lahan bagi petani lokal.
"Ini juga harus dipikirkan, kasian nasib petani kita kedepan. walaupun kita tau modus yang mereka gunakan itu berlindung di balik oknum petani lokal," ucapnya.
Dirinya lebih setuju jika kawasan hutan produksi tersebut dimanfaatkan oleh petani lokal secara berkelompok dengan mengikuti regulasi yang telah diatur oleh pemerintah.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan, berdasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis menegaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan.
"Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,'' tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto di Jakarta, Senin (7/2/2022) seperti dikutip dari laman resmi https://www.menlhk.go.id.
Dalam Permen LHK P.23/2021 kata Agus, Sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Pemerintah saat ini kata dia lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, sehingga mengakibatkan masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non prosedural dan tidak sah.
Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokulture, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, lanjut dia telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.
''Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi,'' ungkap Agus.
Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam Kawasan Hutan maka penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri.
Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.
Menurut Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) kata dia juga telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit.
"Dalam peraturan ini juga diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara." Lanjutnya.
Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan Hutan Produksi kata dia, diatur diperbolehkan satu daur selama 25 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.
Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.
''Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan. UUCK juga telah memperjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan Kembali melalui jangka benah. Dengan begitu maka UUCK telah memposisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong tanaman perkebunan. Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera'' tutup Agus.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait