JAKARTA, celebrities.id - Cerpen tentang kehidupan terbaru yang sangat menyentuh pada artikel kali ini mungkin bisa menjadi bacaan sekaligus referensi kamu untuk menambah khasanah sastra di sekolah ataupun di rumah. Kamu juga bisa mempelajari seperti apa contoh cerpen tentang kehidupan yang singkat namun bisa sampai ke pembacanya.
Cerita pendek bisa kita maknai sebagai prosa fiksi yang mengisahkan tentang sebuah peristiwa yang dialami oleh tokoh utama.
Struktur pembangun cerita pendek terdiri dari tiga bagian yakni orientasi, komplikasi dan resolusi. Salah satu bagian terpenting adalah orientasi yang mengandung pengenalan latar cerita seperti waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita pendek.
Merujuk pada Modul Pembelajaran SMA Bahasa Indonesia Kelas XI (2020) oleh Sumiati, cerpen didefinisikan sebagai prosa berisi gagasan, pikiran, pengalaman yang diimajinasikan dan membentuk suatu peristiwa dengan satu peristiwa puncak.
Cerpen dapat dimaknai sebagai cerita fiksi karena cerita pendek tidak benar-benar terjadi namun dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.
Berikut ini beberapa cerpen tentang kehidupan yang bisa kamu baca dan pelajari
Contoh Cerpen tentang Kehidupan
1. Contoh Cerpen tentang Kehidupan Pertama
Mukena Untuk Ibu. Foto: Ilustrasi/ net
Mukena untuk Ibu
Karya: Gita Mawadah Y
Bu Ima adalah seorang janda yang ditinggal mati Suaminya karena kecelakaan. Dia juga merupakan korban kecelakaan bersama Suaminya. Akibatnya, kaki kanan Bu Ima pincang satu. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Bu Ima menjadi buruh cuci. Ia bersyukur memiliki seorang anak yang penurut, rajin, dan sangat berbakti padanya. Ira namanya. Ira seorang anak yang tidak pernah menuntut macam-macam pada Ibunya. Bagi Ira, bisa bersekolah saja sudah sangat bersyukur. Malam itu angin berhembus sangat kencang, sehingga masuk melalui celah-celah dinding rumah Bu Ima yang terbuat dari bambu. Ira yang tertidur pulas, terbangun dari tidurnya.
Angin keras dan dingin menyapu wajahnya. Ibunya yang biasa tidur disampingnya, sudah tidak ada. “Ibu di mana?” gumam Ira. Lalu Ira mencari ke luar kamar. Ira mendapati Ibunya sedang shalat tahajud. Selesai shalat, Ibunya terkejut, “Ira..., kenapa bangun, Nak? “Tidak Bu, Ira hanya kaget, kok Ibu tidak ada di tempat tidur.” “Ira tidur lagi ya? Ibu mau menyelesaikan cucian, “ jawab Ibunya.
Bu Ima bergegas menuju sumur. Ia mulai menimba air, kemudian merendam pakaian satu demi satu. Ira berniat mengikuti, tetapi Ibunya melarang.
“Sudahlah Ira, nanti kamu masuk angin. Lagi pula besok Ira kan sekolah. Nanti Ira kesiangan, “ ujar Ibunya.
“Tapi Ira ingin membantu Ibu. Sudah larut malam Ibu kok masih bekerja. Ira tidak tega melihat Ibu,” jawab Ira dengan memelas. “Baiklah Ira, biar cucian ini Ibu rendam saja dulu. Besok pagi baru Ibu cuci. Sekarang kita tidur saja, ya. Ayo, kita tidur,” ajak Ibunya.
Setelah Ira tertidur pulas, Bu Ima pun bergegas kembali ke sumur. Satu per satu pakaian yang ia rendam sedari tadi mulai ia sikat dan kucek.
Tak terasa adzan subuh pun berkumandang. Bersamaan dengan itu pekerjaan Bu Ima pun selesai. Lalu ia cepat-cepat menyalakan api untuk memasak sarapan buat Ira. Ira terbangun saat mencium bau masakan Ibunya. Ia cepat-cepat pergi ke dapur. “Wow..., bau tempe goreng, sedap sekali baunya, Bu?” ujar Ira.
“Iya Ira, Alhamdulillah, kemarin Ibu dapat rejeki, jadi Ira bisa makan pakai tempe lagi,” jawab Ibu. “Pasti dong Bu, Ira selalu berdo’a untuk kita. Sekarang Ira mau shalat subuh dulu ya, Bu” jawab Ira. Ibu Ima tersenyum bahagia. Baginya Ira adalah hartanya yang tak ternilai harganya dibandingkan dengan kekayaan yang ada di dunia ini.
Dan ia sangat bersyukur sekali karena Ira anak yang salehah. Selesai shalat subuh, Ira pergi ke dapur. “Bu..., sekarang Ibu shalat subuh dulu, biar Ira yang melanjutkan memasak,” kata Ira pada Ibunya. “Baiklah Ira, tapi hati-hati ya Nak,” jawab Ibunya.
Selesai masak, Ira menuju ke kamar. Ira sedih ketika melihat Ibunya menggosok-gosok kakinya dengan minyak serai yang dibuat Ibunya sendiri. Tetapi yang membuat Ira terpaku adalah mukena yang dikenakan Ibunya tampak lusuh sekali. Jahitannya yang mulai robek dan warna yang seharusnya putih, tampak seperti kuning kecoklatan, dan kusam.
“Ya Allah, selama ini mukena yang Ibu kenakan ternyata tidak layak lagi,” keluh Ira dalam hati. Merasa ada yang memperhatikan, Ibunya melihat ke luar kamar. “Ada apa Nak? Kamu kelihatan sedih. Apakah masakanmu sudah selesai dibuat?” tanya Ibunya. “Sudah, Bu. Masakannya sudah disiapkan di atas tikar. Bu, Ira mau tanya, apakah mukena Ibu hanya satu saja?” tanya Ira.
Ibunya menghela nafas, “Mukena ini satu-satunya peninggalan dari Ayahmu. Sayang kalau tidak dipakai. Ibu tahu kalau mukena ini sudah lusuh, tapi kan masih bisa dipakai. Shalat itu yang penting niatnya, dan juga bersih dari najis. Lagi pula, kalau beli yang baru pasti harganya sangat mahal. Mana ada uangnya. Kita bisa makan saja sudah alhamdulillah. Sudahlah Ira, ini sudah siang, nanti Ira terlambat ke sekolah.” Sebenarnya Ira anak yang pintar. Ia selalu mendapat peringkat satu di sekolahnya, meskipun hanya seorang anak buruh cuci.
Ira sering mendapat cemoohan dan ejekan dari teman-temannya, tetapi ia tetap bangga karena dapat membuktikan pada semuanya, kalau ia berprestasi meskipun hidup dalam kekurangan. Sepulang sekolah, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Ira pun berlari dan berteduh di emperan sebuah toko. Tanpa sengaja, ia melihat sebuah mukena yang dipajang di etalase. Ira mencoba untuk masuk, tetapi takut dimarahi karena bajunya sedikit basah dan sepatunya pun kotor. Akan tetapi pelayan toko di tempat ia berteduh sangat ramah. “Ada apa, Dik? Adik mau beli sesuatu? Mari ke sini, masuk saja, tidak apa-apa!” ajak pelayan toko tersebut. “Saya hanya melihat-lihat saja, Kak. Itu mukena yang di ujung sana, bagus sekali, Kak.
Tapi sayangnya saya tidak punya uang untuk membelinya,” jujur Ira berterus terang pada pelayan toko. “Oh itu murah Dik, hanya seratus ribu saja!” jawab pelayan toko itu. Sebenarnya mukena itu bentuknya sangat sederhana dan harganya terjangkau bagi sebagian orang. Tetapi bagi Ira, harga segitu sangatlah mahal. Apalagi penghasilan Ibunya satu hari hanya sepuluh sampai lima belas ribu rupiah. Hanya cukup untuk makan saja. Hujan pun reda, Ira berpamitan pada pelayan toko itu. Selama di perjalanan pulang, ia terus berpikir dari mana ia bisa mendapatkan uang.
Lalu ia mendapat akal, “oh iya, ini kan musim hujan. Aku punya payung di rumah. Walaupun jelek, tetapi masih bisa dipakai. Aku pakai aja buat ojek payung,” gumamnya dalam hati. Lalu sambil tersenyum ia pun berlari pulang. Sampai di rumah, Ira langsung menemui Ibunya. “Assalamualaikum, Ira pulang, Bu.” “Waalaikumsalam, Ira kok lama sekali, dari mana Nak. Bukankah pulang sekolahnya sudah dari tadi?” tanya Ibunya. “Ira tadi berteduh dulu Bu. O ya, tadi saat berteduh, Ira melihat mukena. Bagus deh Bu. Kelihatan sederhana, tetapi harganya mahal Bu, seratus ribu,” cerita Ira. ”Sudahlah Ira, tak usah kita pikirkan tentang mukena lagi. Sekarang Ira ganti baju lalu sholat dzuhur kemudian makan!” ujar Ibunya. Ira mengangguk kemudian ia pergi meninggalkan Ibunya.
Lebaran tinggal dua hari. Ira akhirnya memutuskan untuk memecah celengan, dan menghitung uang tabungannya. Alhamdulillah, ternyata jumlahnya sudah cukup untuk membeli mukena Ibunya. Dengan riang gembira ia pergi ke toko itu. Lama ia mengamati mukena-mukena yang dipajang dalam etalase. Tetapi harganya terlampau mahal. Ira hanya mau mukena putih sederhana. Mukena dengan harga sesuai dengan uang yang dibawanya. Ira menengok ke sana ke mari. Semua pelayan toko sedang sibuk semua. Ia membalikan badannya hendak keluar toko.
Tetapi tiba-tiba, “Dik...!” sebuah suara memanggilnya. “Kata teman Kakak, beberapa hari yang lalu Adik cari Kakak ya? Ada apa?” tanya pelayan toko itu. Ira menghela napas panjang. “Percuma saja Kak, mukenanya sudah laku,” jawab Ira. “Oh, itu masalahnya,” seru pelayan toko itu. Pelayan lalu meninggalkan Ira yang termangu. Tak lama kemudian pelayan toko itu memanggil Ira. “Dik, sini, ini mukena yang dulu kamu minta simpan, kan?” seru pelayan toko itu. Ira pun tersenyum gembira, dan dengan riang ia menghampiri. “Terima kasih ya Kak. Kakak baik sekali. Ini uangnya, Kak. Ibu saya pasti senang sekali,” kata Ira.
“Ya Dik, sama-sama. Hati-hati di jalan ya,” ujar pelayan toko itu sambil tersenyum. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Dengan kebingungan Ira mencari tempat berteduh. Akhirnya dapatlah ia tempat berteduh. Namun tanpa ia sadari ternyata di depannya terdapat genangan air. Tiba-tiba, “crat...,” air genangan itu dilewati mobil dan menyiprat ke tubuhnya, bahkan mengotori plastik bungkus mukena. Dengan cepat ia membersihkan plastik itu dari cipratan air kotor. Tetapi tanpa ia sadari, plastiknya terbuka dan mukena miliknya terjatuh ke tanah yang becek.
Mukena yang tadinya putih kini menjadi kotor. Ira sedih dan menangis. Sesampainya di rumah, Ibunya terkejut. “Ira, ada apa Nak? Kenapa menangis dan kenapa badanmu kotor semua? Dan itu..., mukena milik siapa?” tanya Ibunya bingung. “Maafkan Ira Bu, selama ini Ira bekerja ojek payung agar Ira bisa membelikan Ibu mukena. Tapi mukena ini sekarang kotor karena jatuh di tanah yang becek,” jawab Ira sambil menangis tersedu-sedu. Bu Ima memeluk Ira dengan penuh haru. Ia tak menyangka anaknya begitu perhatian kepada dirinya. “Ira tidak usah sedih, noda ini bisa hilang kok. Sekarang Ira mandi dulu, terus makan, setelah itu kita cuci sama-sama mukena ini,” ajak Bu Ima. Ira mengangguk lalu pergi menuju kamar mandi. Hari raya pun tiba, Ira dan Bu Ima bergegas pergi ke lapangan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Ira pun tersenyum puas karena mukena yang dipakai Ibu sudah kembali putih bersih. Suci seperti hari raya ini.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait